Usianya ketika itu baru 16 tahun. Wartawan mengenalnya sebagai "adiknya Yuni Shara" yang lebih dulu populer. Padahal, ia punya nama Kris Dayanti--ketika itu namanya tertulis terpisah antara Kris dan Dayanti. Itu kenangan tahun 1992.
Setelah namanya disebut-sebut sebagai penyanyi yang menang dalam kontes Asia Bagus di Singapura tahun 1992, Kris Dayanti masih dilekati embel-embel sebagai "adiknya Yuni Shara". Setahun kemudian, "adiknya Yuni" itu sudah terbang ke Budapest mengikuti Festival Musik Internasional.
Dari semula penyanyi kurang dikenal dan berpredikat amatir, Kris Dayanti merambat populer. Bahkan, pada akhir 1990-an orang sudah latah menyebutnya sebagai Diva. Ia dikenal luas bukan hanya sebagai penyanyi, melainkan juga pemain sinetron. Kemudian pada suatu masa Krisdayanti punya julukan KD. Sebagai KD, Yanti si anak Batu, Jawa Timur, itu berada di tengah gebyar panggung hiburan.
Jika ketenaran digunakan sebagai ukuran pencapaian seorang penyanyi, maka KD telah mendapatkannya. Jika ukuran keberhasilan itu adalah perolehan materi, maka KD pernah pula mencecapnya. Gemerlap panggung dengan riuh tepuk tangan, dan sanjungan ribuan penonton, pernah mengisi hari-harinya. Namun, sekitar empat tahun lalu, ia seperti menyepi dari gebyar jagat hiburan itu.
Kini, ia kembali lagi sebagai Krisdayanti—bukan KD—lewat album Persembahan Ratu Cinta.
Arti sebuah nama
Mengapa tidak KD lagi?
"Orangtuaku memberi nama Krisdayanti itu bukan tanpa arti," kata Yanti, saat berbincang di rumahnya di bilangan Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2013) siang.
Ia lalu bercerita tentang hikayat nama Krisdayanti. Alkisah, ketika ia lahir, ayahnya yang seniman sedang memahat figur yang kemudian mengilhami munculnya nama Krisdayanti. Namun, ada makna lain dalam namanya yang ia percaya memuat doa dan harapan.
"Kris, keris itu pusaka, dan daya. Jadi, ada dua kekuatan: keris dan daya. Dua kekuatan perempuan. Mendengarnya saja rasanya kayak nyulut geni.... Maksudnya aku mendapat semangat dari nama itu..."
Dengan semangat dari nama yang mengandung doa dan harapan itulah Yanti menghadapi jatuh bangun kehidupan. "Ketika aku harus turun gunung merosok ke kanan kiri, menghadapi kehidupan yang rasanya enggak adil buat aku, itu rasanya aku tetap semangat saja."
Begitu juga nama itu memberikan energi kepada Yanti sebagai penyanyi yang ketika itu jadwalnya superpadat. "Mama saya sampai bilang, 'wong kok ora duwe udel'."
Artinya, orang kok tidak punya pusar. Itu adalah pengibaratan dalam bahasa Jawa untuk menggambarkan orang yang tidak mengenal lelah seperti kuda, yang konon tidak punya udel. Dan benar, Yanti bekerja keras. Jika sebulan ada 31 hari, maka ia bekerja 38 hari. Itu ungkapan dia. Ia banting tulang untuk nyanyi dan main sinetron.
"Dulu, maaf ya, untuk naruh pantat saja aku sampai enggak sempat. Aku kerja siang malam, tapi aku kehilangan kedekatan dengan keluarga. Aku merasa kesepian karena banyak ke luar kota," kata Yanti dengan kalimat agak tersendat. Ia berhenti sesaat.
Ingin bernyanyi
Ingin meraih pencapaian seperti dulu?
"Kalau pencapaian memang sudah pernah. Tapi kembalinya aku di album ini tidak untuk mencari pencapaian atau prestasi seperti dulu. Aku ingin bernyanyi…" kata Yanti.
Kata-katanya tertahan sesaat, lalu ia melanjutkan. "Aku ingin bernyanyi dan sebagian hasilnya ingin aku berikan untuk kesehatan anak-anak dan perempuan," katanya.