TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - "Di tengah suasana dunia ketika banyak orang dibayangi rasa resah, khawatir, takut, ngeri, dan sedih, lagu menjadi pembawa keindahan," kata Michael Buble (39), yang menggelar konser di Indonesia Convention Exhibition, BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Kamis (29/1).

Dan benar. Lagu "Fever" menjadi lagu pembuka yang membawa rasa gembira. "Fever" mulai populer pada paruh kedua era 1950-an antara lain lewat suara Peggy Lee. Lagu itu langsung disambung dengan "Haven't Met You Yet" yang ikut ditulis Buble. Berlanjut dengan "You Make Me Feel So Young", lagu ditulis Josef Myrow/Mack Gordon pada 1946 dan dipopulerkan Frank Sinatra pada era 1950-an.

"Itu lagu tahun 1946 dari seorang yang mengagumkan bernama Justin Bieber," kata Buble yang tentu saja berseloroh. Penonton pun tertawa riuh.

Ada pula "Cry Me a River" (1955). Di tengah lagu klasik itu, mengalun pula lagu "Everybody" dari boyband Backstreet Boys. Begitulah, dalam konser Buble seperti tak ada sekat-sekat era. Di tangan penyanyi asal Kanada itu, lagu dari era mana pun terasa menjadi lagu hari ini. Penonton remaja sampai generasi orang tua menyatu dalam suasana hangat gembira. Digelar oleh Dyandra Entertainment dan didukung Bank BRI, konser memasang harga tiket mulai dari Rp 850.000 sampai tertinggi Rp 6 juta.

Lagu awet

Sebagian lagu Buble merupakan lagu evergreen alias lagu awet. Seperti "I've Got the World on a String" (1932), "Feeling Good" (1964). Sementara dalam album, misalnya, Buble membawakan "Young at Heart" yang pernah dipopulerkan Frank Sinatra lewat film Young at Heart (1954). Lagu-lagu itu, menurut Buble, menghubungkan orang dari berbagai lapis generasi. Lagu bagus, kata Buble, mempunyai sifat universal.

"Tak peduli dari mana kita berasal, tua, muda, hitam,putih, kaya, miskin, pesan lagu itu sangat indah. Mereka punya harapan, romantisisme, nostalgia, semua itu positif," kata Buble dalam wawancara dengan Kompas di Hotel Mandarin, Jakarta.

Ia juga percaya bahwa musik mempunyai daya terapeutik. Ketika orang sedih, patah hati, dihadapkan pada suasana dukacita, musik menjadi kawan bagi mereka untuk penerimaan atas apa yang terjadi.

"Musik kadang bukan tentang sesuatu yang membuat kita gembira."

Buble memberi contoh lagu "Home" gubahannya yang menjadi kawan bagi seorang ibu yang kehilangan seorang anaknya. "Dia pergi ke makam dan mendengarkan lagu 'Home'. Lagu itu menghubungkan sang ibu dengan anaknya dan memberinya rasa damai," kata Buble.

Lagu "It's a Beautiful Day" meski bertema tentang pasangan yang putus cinta, tetapi berangkat dari semangat positivisme. Lagu itu bicara tentang harapan dan ketidakcengengan sikap.

"Lagu-lagu saya yang lain lebih banyak romansanya, tentang cinta romantis, rasa rindu. Tapi, 'It's a Beautiful Day' itu tentang hubungan yang terputus," tutur Buble sambil melantunkan penggalan lirik yang menunjukkan sikap gagah seseorang dalam menghadapi situasi.

Buble menginterpretasi lagu yang pernah populer dan menyesuaikannya dengan gaya personalnya, antara lain pada lagu "How Can You Mend a Broken Heart" dan "To Love Somebody" milik Bee Gees.

"Jika menyanyikan lagu orang lain, saya memberi penghormatan kepada sang penggubah atau mereka yang membawakannya. Saya, misalnya, sangat menghormati Bee Gees, Barry Gibb dan adik-adiknya, maka saya perlakukan lagu tersebut dengan sangat hati-hati," tutur Buble.

Lagu itu sebenarnya ditulis Bee Gees untuk Ottis Redding, tetapi Ottis keburu meninggal. "Saya ingin menghormati mereka dengan menjadikan lagu itu spesial. Sekadar memfotokopi lagu bagi saya bukan penghormatan. Saya harus membuatnya baru," kata Buble.