Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/08/2015, 22:22 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Memerdekakan diri, menjadi Indonesia, dan terus merawatnya karena rasa cinta. Tidak mudah. Setiap generasi punya tantangan dan cara sendiri. Tidak adil jika dibanding-bandingkan dengan acuan yang kerap tidak relevan. Seperti cinta yang banyak definisinya, begitu juga ungkapannya.

Kelompok musik pop Efek Rumah Kaca (ERK) memperdengarkan karya baru mereka selama tiga pekan terakhir. Tembang "Biru" berdurasi sembilan menit itu dengan musik cenderung rumit. Lagu anyar lain konon akan lebih panjang dari itu. Di tengah tidak bersahabatnya industri musik dan radio komersial pada lagu berdurasi panjang dan rumit, mereka tetap jalan terus.

Mereka memerdekakan diri dari kekhawatiran lagunya tidak akan diputar di radio. Trio Cholil Mahmud (vokal, gitar), Akbar Bagus Sudibyo (drum), dan Adrian Yunan Faisal (bas)-belakangan diisi Poppy Airil-membuat siasat. Lagu itu dipecah jadi dua, "Pasar Bisa Diciptakan" dan "Cipta Bisa Dipasarkan".

"Tidak ada substansi lagu yang hilang dari situ (pemecahan lagu)," kata Cholil.

Strategi diambil ketika lagu sudah jadi sehingga strategi pemasaran tidak memengaruhi estetika yang mereka buat secara merdeka.

Mereka pentas keliling mendatangi penggemar di sejumlah kota. Pada 18 September 2015, band yang terbentuk di Jakarta pada 2001 ini akan menggelar konser tunggal pertama di Bandung. Dua album mereka bisa diunduh gratis. Lagu romantika percintaan mereka mengundang haru, tetapi banyak kritik sosial yang disampaikan secara santun. Cholil, yang banyak menulis lirik, mengatakan, dirinya memakai bahasa gaya koran.

Mereka bernaung di bawah label rekaman kecil dengan distribusi album terbatas. Mereka juga belum pernah tampil lip-sync di acara televisi. Padahal, jika dalam kondisi sebaliknya, bisa jadi mereka bakal lebih tenar. Walaupun begitu, banyak anak muda yang menjadikan ERK sebagai panutan.

Pada album kedua, Kamar Gelap (2008), ERK punya lagu "Menjadi Indonesia" yang terinspirasi dari buku berjudul sama karya Parakitri T Simbolon. Akhir lagu itu berbunyi, "Memudakan tuamu, menjelma dan menjadi Indonesia".

Menurut Cholil, lagu itu menyiratkan harapan agar Indonesia kembali menjadi bangsa besar, bangsa yang memberi panggung kepada orang-orang yang mumpuni di bidangnya.

Semua lagu ERK ditulis dalam bahasa Indonesia. Namun, tidak bisa disimpulkan bahwa mereka memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Pemilihan bahasa Indonesia semata-mata untuk memaksimalkan penulisan lagu. Cholil mengatakan kepayahan menulis lirik dalam bahasa asing, seperti Inggris.

Makna nasionalisme bagi Cholil adalah pemahaman bahwa Indonesia tersusun atas keanekaragaman suku, agama, pun bahasa. Pemahaman demikian dinilai meluntur. Sebagai orang yang besar di Jakarta, ia merasa Indonesia terlalu terpusat di Jawa, khususnya Jakarta.

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau