Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memanggungkan Masalah ala Komika

Kompas.com - 24/04/2016, 00:18 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Komedi menjadi cara alternatif mengungkapkan masalah. Mengkritik sekaligus juga menertawakannya.

Stand up comedy kini menjadi tren anak muda untuk menyampaikan rasa gundah dan resah.

"Ning nong ning nong ning gong. Juminten kuliah di Washington. Kalau malam main ke Las Vegas. Lewat lagu ini, Kangen Band ingin menunjukkan bahwa kami warga dusun juga berhak mendapatkan pendidikan tinggi. Kalian ga ada yang tahu, kan, kalau ternyata Juminten itu tetangga saya," kata Sadana Agung membuka komedinya dalam panggung Stand Up Comedy Indonesia 6 (SUCI6) KompasTV.

Dengan memakai persona orang dusun, Dana memutar, mematahkan persepsi orang tentang dusun.

Misalnya, dia membawa penonton pada situasi konser dangdut yang identik dengan nyawer.

Lantaran warga dusun adalah penduduk agraris, mereka menyawer dengan hasil bumi. Memakai kangkung, setandan pisang, atau sekarung beras.

Membayangkan nyawer dengan setandan pisang saja memantik tawa.

Ada juga Brigadir Kepala Gamayel dari kesatuan Kepolisian Resor Balikpapan, Kalimantan Timur.

Dia mengeksplorasi pengalaman polisi dalam berkomedi.

Misalnya, ternyata polisi pun terdorong untuk berjoget ketika menjaga konser dangdut.

"Kalau sudah kayak gini, ya udah, joget saja," katanya sambil act out memperagakan polisi tengah mengamankan penonton sembari berjoget yang dia sebut joget colongan.

Di atas panggung, Dana dan Gamayel mengocok perut penonton hampir sepanjang show.

Rata-rata laugh per minute (LPM) mereka mencapai 3 sampai 4. Artinya, hampir setiap 15 detik tawa penonton pecah oleh lawakan mereka.

Barangkali semula tak terbayangkan polisi yang identik dengan keseriusan itu ternyata lucu setengah mati.

Begitu juga kesan umum terhadap seorang dosen. Tetapi, simaklah lulusan S-3 yang juga dosen di Swiss German University, Tangerang, Irvan Kartawiria.

Dia menggunakan sudut pandang ilmiah dalam melucu. Prinsipnya, banyak hal ilmiah mengandung unsur lucu.

"Scientiae comedium," begitu Irvan menggambarkan lawakannya.

Simaklah saat dia menjelaskan tentang konsep patah hati yang kerap diusung dalam lirik lagu dangdut.

"Hati itu kandungan airnya 85 persen. Teksturnya empuk dan kenyal. Susah mau patah. Menurut Haji Na'im, lebih mudah patah tulang daripada patah hati," kata doktor bidang teknologi industri pertanian itu.

Lebih dari persona
Dana, Gamayel, dan Irvan merupakan beberapa komika (sebutan untuk stand up comedian) yang berbeda dibandingkan komika lain.

Jika komika lain sibuk mencari persona, mereka bermain pada level lebih dalam.

"Komedi kami itu karakter kami. Bukan lagi persona," kata Irvan.

Irvan sejak kecil dirancang oleh lingkungan untuk menjadi pengamat. Ketika kelas IV SD, dia sudah berkacamata.

Tak pernah terlibat secara fisik dengan permainan anak-anak, seperti bentengan atau gobak sodor, dan lebih banyak menonton.

Saat itulah dia mulai usil tentang segala yang dia lihat. Itu terbawa sampai dewasa dan mengantarnya menjadi doktor.

Keusilan serupa menempel pada Gamayel dalam rupa berbeda. Dia dikenal kerap "mengerjai" rekan sesama polisi.

Ketika rehat setelah sibuk bekerja sebagai polantas, misalnya, dia memasukkan botol minuman ke sepatu rekannya.

Sering juga, sedotan temannya dia ambil, dibakar dengan korek api, lalu dikembalikan ke gelas.

"Kawan saya biasanya ngamuk-ngamuk karena kesulitan menyedot jus atau es teh manisnya. Saya santai aja," kata Gamayel, yang pernah hampir mati kesetrum saat mengambil layang-layang di atas genteng itu.

Tabiat itu terus dia bawa hingga ke komunitas finalis SUCI6, tempat dia berkompetisi.

"Saya kira dia dulu polisi yang bisa melindungi. Ternyata polisi gila, he-he-he," komentar Gebi Ramadhan, rekan sesama finalis SUCI6 yang beberapa kali jadi korban keusilan Gamayel.

Dana pun mencoba tampil jujur sebagai anak dusun yang lahir dan besar di Dusun Deresan, Desa dan Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang.

Letaknya sekitar 25 kilometer dari Salatiga, tempat dia kuliah jurusan desain komunikasi visual.

Biasanya, seseorang kesulitan mengungkapkan keresahan tentang dirinya atau lingkungannya karena too close to home, terlalu dekat.

"Tetapi, Dana berhasil mengatasi itu karena dia sempat mengambil jarak, kuliah ke Salatiga," kata Pandji Pragiwaksono, pelopor Stand Up Comedy yang juga juri SUCI6 KompasTV.

Kompetisi yang tak terasa
Irvan Karta akhirnya close mic alias kalah dalam kompetisi. SUCI6 tinggal enam competitor.

Uniknya, para finalis ini tidak merasa berkompetisi. Mereka malah saling mendukung.

Ketika mendapat tema dari penyelenggara, mereka saling memperkaya beat, set up, atau punchline.

"Ardit (finalis dari Samarinda) yang sering membantu. Pak Irvan juga mengayomi," kata Gebi, finalis dari Serang, Banten, yang masih bertahan.

Di luar itu, muncul kebiasaan unik mengusir gugup menjelang naik panggung.

Irvan kerap loncat-loncat atau duduk menyaksikan teman lain yang tengah manggung.

Dana tak lepas dari secarik catatan ditambah wajah polos dan tegangnya.

Nah, Indra Jegel, finalis dari Medan, berkali-kali huak-huek seperti orang mau muntah.

"Jantung dag dig dug, asam lambung naik, Bang," katanya sembari buru-buru lari ke tempat sampah.

Stand Up Comedy mulai ngetren sejak 2010 ketika Pandji, Raditya Dika, dan rekan-rekannya memulai dengan membuat pertunjukan yang diunggah ke Youtube.

Sebelumnya, sebenarnya ada Iwel yang telah memulai pada 2002, tetapi tidak semasif gerakan Pandji karena saat itu kemajuan internet belum mapan.

Pandji menjadi ikon Stand Up Comedy dan kini tengah menggelar tur dunia ke 24 kota di lima benua. Tur ditutup pada 10 Desember tahun ini di Jakarta.

Kegairahan Stand Up Comedy itu ditangkap stasiun televisi sebagai komoditas yang layak jual.

Muncullah berbagai kompetisi di KompasTV, Metro TV, dan Indosiar. Indosiar tengah menjalankan audisi Stand Up Comedy Academy (SUCA). Antusiasme anak muda tinggi.

Dalam SUCI6 terdapat 2.000-an peserta. Kompas TV bahkan menyediakan talent management untuk menunjang karier komika setelah berkompetisi.

Film Get Up Stand Up salah satu hasilnya.

Kepala Produksi acara Stand Up Comedy Metro TV Wily Dharmawan mengatakan, stand up comedy Metro TV tayang sejak 2011.

Caranya, Metro mendekati beberapa komunitas stand up comedy yang ada di Jakarta. Lalu menyiapkan konsep on air-nya.

Dua tahun berselang, Metro TV kemudian menggelar acara off air.

Pandji menilai, tren stand up comedy di panggung mulai menurun.

Namun, banyak komika yang kemudian menjelajah kanal lain, seperti film layar lebar atau iklan.

Artinya, masa depan komika masih menjanjikan.

Ia menegaskan, menjadi komika bagus harus mempunyai persona yang jelas, bukan ikut-ikutan.

Komika harus mencari dirinya dulu, menemukan keresahannya.

"Orang yang miskin pengalaman hidup tidak akan tahu dirinya siapa. Makanya harus memapar dirinya dengan sebanyak-banyaknya pengalaman. Dengan naik-turunnya hidup, dia akan tahu siapa dirinya," Pandji memberi tips.

Tips itu digenggam erat Irvan, Gamayel, Dana, dan para finalis SUCI6.

Dana bahkan sampai dijuluki Sadana "Pasti Lucu" Agung karena keunikannya sebagai orang dusun dalam melihat dunia.

Dia salah satu anak muda yang menemukan jalan cerdas menyampaikan keresahannya. (Mohammad Hilmi Faiq dan Wisnu Dewabrata)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 April 2016, di halaman 1 dengan judul "Memanggungkan Masalah ala Komika".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com