"Tepat pukul duabelas malam, pada sebuah persimpangan di pinggir kota, seorang gelandangan ke depan kereta komuter terakhir dan terlempar serratus meter ke barat. Koran lampu merah yang terbit keesokan sorenya melaporkan bahwa ada begitu banyak pertanda janggal ihwal mayat sang gelandangan. Tubuhnya tidak tercerai berai seperti pengendara motor yang diserempet kereta barang sekian malam sebelumnya. Bahkan polisi yang tiba di lokasi berani sumpah mati bahwa tubuh tersebut tak mengalirkan setetes pun darah. Mayatnya bau semerbak bunga, katanya. Gelandangan itu meninggal dengan senyum di wajahnya."
("Belajar Menanam Bapak", Raka Ibrahim)
PETIKAN cerita itu adalah salah satu cerita pendek Raka Ibrahim di dalam kumpulan "Bagaimana Tuhan Menciptakan Cahaya" (Commabooks, Kepustakaan Populer Gramedia, 2018).
Kumpulan ini berkisah tentang seorang lelaki yang berupaya menyelamatkan hubungannya dan perempuan yang dicintainya.
Dinarasikan dengan gaya Kisah 1001 Malam, kita akan menemui berbagai cerita: dari cerpen "Belajar Menanam Bapak" yang jenaka tentang seorang ayah pecundang; lalu cerita silat yang lucu seperti "Pendekar dari Bulan", hingga kisah romantis seperti "Bagaimana Tuhan Menciptakan Cahaya".
Dalam serangkaian ceritanya, Raka berkisah dengan santai dan naratif, dan beberapa ceritanya nyaris tanpa plot karena fokusnya lebih kepada setiap tokohnya yang unik, yang tak keberatan untuk terlihat sebagai pecundang atau yang jenaka.
Dalam cerita "Gambar Bergerak"--cerita pendeknya yang terbaik menurut saya--Raka menggunakan imajinasi bagaimana pemerintah (antah berantah) memberikan terapi "penghapusan ingatan" kepada warganya.
Cerita ini dimulai dari seorang perempuan dan lelaki bertemu di peron dan sama-sama naik kereta setelah menjalani penghapusan ingatan. Mereka harus mencari nama, identitas baru setelah penghapusan itu.
Cerita ini dikisahkan sembari membangun sebuah suasana sunyi mengiris, karena menurut si penulis, kenangan lama yang masih suka berkelebat disebut "residu". Dan, tentu saja jejak residu itu bisa terjadi pada siapa saja, termasuk tokoh lelaki dan perempuan ini.
Cerpen ini, bukan saja yang terbaik, tetapi juga paling cerdas karena Raka menggunakan segenap "fasilitas" yang dimiliki generasinya: pengetahuan yang dalam dan luas, bacaan dan referensi yang lengkap, serta bakat dan kemampuan berkisah yang bersinar.
Kekayaan referensi dan pengetahuan Raka Ibrahim, menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma, juga mewakili generasi penulis baru yang lahir di tahun 1990-an dan 2000-an.
Mereka yang, menurut Seno, "tidak mengalami luka Orde Baru", tetapi sangat memahami dan mengetahui ketidak adilan berdasarkan pengetahuan pustaka.
Dalam program podcast "Coming Home with Leila Chudori", Seno Gumira Ajidarma juga mengutarakan kritik pada (sebagian) karya penulis baru urban, intelektual di masa kini cenderung menggunakan "sudut pandang orang kedua" sehingga karyanya yang personal yang betul-betul fokus pada diri sendiri yang belum tentu mewakili persoalan yang lebih besar.
"Mereka juga sering menggunakan berderet-deret anak kalimat, sehingga plot utama cenderung terlupakan."
Seno mengakui bahwa generasinya dan generasi penulis sesudahnya yang lahir di tahun 1960-an dan 1970-an adalah pembaca karya Pramoedya, Budi Darma, Putu Wijaya yang tetap bersetia pada plot.
Meski demikian, Raka Ibrahim dan penulis segenerasinya, menurut Seno mempunyai sesuatu yang baru, yaitu "selain referensi dan pengetahuan mereka jauh lebih luas dan lebih dalam karena majunya teknologi dan internet, penulis masa kini mempunyai sudut pandang baru; sikap baru dalam menanggapi problem-problem sosial di sekelilingnya."
Pembahasan karya Raka Ibrahim oleh Seno Gumira Ajidarma bisa Anda dengarkan dengan lengkap di podcast "Coming Home with Leila Chudori" di Spotify.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.