CANNES, KOMPAS.com -- Film Prenjak (In the Year of Monkey) terpilih sebagai film pendek terbaik versi Leica Cine Discovery Prize pada Kamis (19/5/2016) dalam La Semaine de la Critique (Critics' Week) 2016 di Cannes, Perancis.
Film itu digarap oleh sutradara Wregas Bhanuteja dari Yogyakarta dan timnya.
Tim Prenjak yang datang di Cannes berkekuatan lima orang, termasuk sutradara dan penulis cerita Wregas Bhanuteja, sontak melonjak dan berpelukan ketika pembawa acara mengumumkan kemenangan mereka.
"Sungguh tak disangka," kata Wregas, 22 tahun, kegirangan.
"Saya merasa bahwa ini adalah energi yang sangat besar sekali bagi saya. Saya berharap agar api ini tetap menyala. Dan, ketika saya pulang ke Indonesia, saya akan mulai membuat film lagi dan lagi," tutur Wregas kepada BBC Indonesia.
Prenjak memenangi Le Prix Decouverte Leica Cine (Leica Cine Discovery Prize) untuk film pendek terbaik yang dipilih dari 10 film pendek yang diputar dalam kompetisi tersebut.
Kesepuluh finalis itu disaring dari 1.500 film pendek yang dikirim ke panitia festival tersebut.
Art Director La Semaine de la Critique, Charles Tesson, memuji Prenjak sedari awal.
"Sebuah film dengan kedalaman puitik yang mengejutkan. Prenjak karya Wregas Bhanuteja, adalah film yang kelam dan bengal, tentang bagaimana mencari nafkah itu sama harganya dengan sekadar permainan korek api," pujinya.
Puisi gelap dan nakal--dan lebih dari itu: kurang ajar, yang dimaksudkan--itu merupakan kisah yang bertumpu pada Diah (Rosa Sinegar).
Diah seorang gadis di sebuah desa. Dalam kondisi putus asa, ia menawarkan kepada Jarwo (Yohanes Budyambara) korek api dengan harga Rp.10.000 per batang untuk dinyalakan dan digunakan oleh Jarwo jika ingin mengintip vaginanya.
Film sepanjang 12 menit ini merupakan film ketiga Wregas, yang berlaga dalam festival internasional.
Sebelumnya, ia ambil bagian dengan Lembusura dalam Festival Film Berlin 2015 dan Floating Chopin dalam Hong Kong Film Festival 2016.
Prenjak mengalahkan sembilan nomine lainnya, yaitu Arnie (karya Rina B Tsou, produksi Taiwan dan Filipina), Ascensao (Pedro Peralta, Portugal), Campo de víboras (Cristele Alves Meira, Portugal), Delusion Is Redemption to Those in Distress (O Delírio e redençao dos aflitos, Fellipe Fernandes, Brasil), L'Enfance d'un chef (Antoine de Bary, Perancis), Limbo (Konstantina Kotzamani, Yunani), Oh what a Wonderful Feeling (François Jaros, Kanada), Le Soldat Vierge (Erwan Le Duc, Perancis), dan Superbia (Luca Toth, Hungaria).
La Semaine de La Critique merupakan salah satu festival independen terpenting yang diselenggarakan berbarengan dengan Festival Film Cannes pada setiap Mei.
Film Indonesia yang pernah masuk adalah Tjut Nja' Dhien (Eros Djarot, 1989) dan Fox Exploits Tigers Might (Lucky Kuswandy, 2014).
La Semaine de la Critique mulai diselenggarakan pada 1962 oleh serikat kritikus dan jurnalis Perancis, yang menganggap Festival Film Cannes sudah terlalu mapan dan berorientasi hanya pada nama-nama besar dan sudah mengabaikan pencapaian artistik.
Beberapa tahun kemudian, langkah itu diikuti oleh serikat sutradara Perancis dengan menyelenggarakan Quinzaine des Realisateurs (Directors' Fortnight).
Kedua festival independen tersebut didedikasikan kepada karya-karya inovatif serta diselenggarakan berbarengan dengan dan bahkan cenderung diintegrasikan dengan Festival Film Cannes.
Film-film yang berkompetisi dalam La Semaine dan Quinzaine des Realisateurs juga berkompetisi untuk kategori-kategori tertentu Festival Film Cannes, antara lain Camera d'or untuk film terbaik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.