JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah Ngenest (2015), Ernest Prakasa membuat film lagi, judulnya: Cek Toko Sebelah. Film bercerita tentang seorang bapak, Koh Afuk (Chew Kin Wah), yang ingin mewariskan toko kepada anaknya.
Anak Koh Afuk ada dua—laki-laki semua. Si sulung Yohan (Dion Wiyoko) yang begajulan, dan si bungsu Erwin (Ernest Prakasa) yang kariernya gemilang. Koh Afuk memilih Erwin, intrik pun tercipta.
Kiprah Ernest sebagai filmmaker memang belum terlalu lama. Walaupun begitu, film debutnya, Ngenest, merupakan sebuah drama komedi yang menarik. Ernest berhasil mengolah buku-bukunya menjadi satu cerita film yang utuh. Debutnya sebagai penulis skenario (adaptasi) itu pun mengantarkannya menjadi nominee untuk FFI 2016.
CTS akan tayang pada tanggal 28 Desember 2016. Menjelang tibanya film tersebut, Gramedia.com menemui Ernest untuk membicarakan berbagai hal. Mulai dari ide cerita CTS, alasan Ernest mengangkat kisah seputar etnis Tionghoa, serta pembelajaran yang ia dapatkan selama menjadi sutradara dan penulis naskah.
G: Bisa sedikit diceritakan, awalnya menjadi filmmaker lewat film pertama Ngenest?
E: Kan Ngenest itu kecelakaan nih. Enggak ada rencana nge-direct sama sekali. Awalnya cuma mau nulis sama main. Terus, Pak [Chand] Parwez itu kan emang punya sejarah panjang nyeburin orang gitu. Kayak Radit [Dika] pertama kali nge-direct juga dia yang kasih kesempatan—begitu juga Fajar Nugros. Istilahnya itu, dia suka buka jalan buat banyak orang. Nah, dulu itu dia bilang, kenapa gue enggak direct sendiri? Akhirnya, singkat cerita, gue coba.
Setelah menyutradarai Ngenest, gue merasa kepuasannya maksimal. Dan itu mungkin enggak akan terjadi kalau gue hanya menjadi penulis skenario. Soalnya, salah satu yang enggak enak dari menjadi penulis skenario kan: setelah final draft lo pasrah. Lo enggak bisa apa-apa lagi, karena itu sudah wewenangnya sutradara di lapangan. Belum nanti wewenang di editor—setelah post-production. Jadi, tahapannya begitu banyak, sehingga walaupun at the end itu nama lo yang tercantum, hasilnya mungkin berbeda dari yang lo tulis. Nah, menjadi sutradara menurut gue jadi menarik, karena gue bisa menjaga dari hulu ke hilir, agar karya itu utuh—sesuai dengan yang awalnya ingin gue sampaikan.
G: Kapan tepatnya lo berniat untuk membuat film kedua?
E: Jadi begitu Ngenest mendapat sambutan baik, Starvision sudah langsung menanyakan: “Bikin apa lagi nih?” Terus pada waktu itu sih gue bilang, “Nanti aja lah, Pak, belum kepikiran juga mau bikin apa.” And then, awalnya premis CTS ini mau gue bikin jadi novel sebenarnya. Tapi kalau gue ukur timeline-nya, kayaknya enggak bakal sempat.
Kalau memang gue mau rilis film lagi di akhir tahun, berarti September harus sudah produksi dan sebagainya. Akhirnya, ya sudahlah, langsung kita bikin skenario aja. Kira-kira selama dua bulan, gue sama istri gue mengembangkan premis CTS sampai ke sinopsis. Skenarionya sendiri, itu akhir April baru mulai kita develop, kelarnya akhir September.
G: Cek Toko Sebelah berbeda dari Ngenest. Kali ini lo membuat original story baru—bukan adaptasi seperti Ngenest. Kisahnya tentang seorang bapak dua anak yang ingin mewariskan toko. Bagaimana ide itu muncul?
E: Pertamanya, gue belum sampai ke masalah adik-kakak. Awalnya masih tentang orang yang kuliah di luar negeri—yang mana harusnya pendidikan dia baik buat bekal nya ngejar karir—tapi malah ended up jaga toko. Dasarnya itu. Terus gue riset, ke saudara-saudara gue yang mengalami itu. Cek background-nya, ternyata motivasinya ada macam-macam. Terus gue merasa masih kurang. Masih ada something missing gitu, konflik utamanya apa? Akhirnya gue tambah sibling di situ.
G: Apakah masih ada kaitannya dengan perjalanan hidup Ernest Prakasa sendiri—seperti halnya Ngenest?
Ini inspirasi dari sekitar sih. Dari keluarga juga. Nyokap gue itu punya toko sembako—dari 1985 sampai sekarang. Terus banyak kan Chinese yang jauh-jauh sekolah ke luar negeri, baliknya justru jaga toko. Bukan berarti itu sesuatu yang negatif. Tapi ya di balik itu banyak kisah yang menarik. Begitu juga konflik adik sama kakak, itu juga menarik—dan gue dapat dari sekitar gue. Intinya sih ini pure fiksi, tapi ceritanya amat dekat sama gue.
G: Buat lo, apa bedanya mengadaptasi buku dengan membuat sebuah original story yang baru?