E: Beda banget. Kalau adaptasi, apalagi yang diangkat dari hidup gue, banyak restraint yang enggak bisa gue langgar. Orang kan ada yang tahu hidup gue, jadi gue enggak bisa mengarang sesuka gue kan. Tapi kalau di CTS ini gue punya kebebasan buat mengarang cerita. Berdua sama istri gue, kami itu membuat cerita tanpa batasan apapun.
G: Dua film lo sama-sama menyiratkan potret hidup orang Tionghoa. Apa sebab lo memilih itu?
E: Sebenarnya gue enggak punya misi spesifik: “Wah film kedua harus mengangkat cina-cinaan lagi”. Tapi kebetulan pas gue lagi mencari premis, yang lagi dekat ya itu—untuk sementara. Enggak tahu kalau ke depannya gue bikin film lagi, apakah masih berkaitan dengan Chinese juga. Jadi memang bukan sesuatu yang diniati.
G: Kita tahu bahwa wacana rasial bisa menuai respons tak terduga—khususnya dari orang-orang yang sensitif. Lo punya pertimbangan tertentu enggak saat mengangkat isu seputar etnis Tionghoa?
E: Enggak sih. Lagian, kalau CTS kan ringan banget ya isunya. Ngenest jauh lebih berat—itu pun enggak ada masalah apa-apa. Banyak teman gue yang pribumi, setelah menonton Ngenest itu dia malah mikir: “Ternyata gue itu jahat ya. Gue kayak ngerasa bersalah gitu sama temen gue yang Cina.” Padahal gue enggak bermaksud kayak gitu. Tapi kalau akhirnya jadi kritik, ya bagus juga sih [tertawa].
Kalau CTS sendiri, untuk pesan pluralisme dan lain-lainnya, sebetulnya jauh lebih ringan sih. Tetap ada konflik, seperti misalnya yang terjadi pada istri Yohan. Istrinya Yohan itu, Ayu (Ardinia Wirasti), kan pribumi. Sementara bapaknya Yohan, Koh Afuk kan pernah merasakan kerusuhan 98. Nah, Koh Afuk kurang setuju tuh sama pilihan Yohan menikah sama pribumi. Itu ada, walaupun enggak kita jadikan inti cerita. Itu kita jadikan warna di film ini.
G: Lo sudah berhasil membuat film pertama, merasakan segala proses dan hasilnya. Kira-kira apa yang berbeda dari film kedua lo?
E: Pada saat Ngenest itu gue sama sekali buta soal sinematografi—like literally buta. Gue baca buku. Tapi hal-hal sesimpel apa efek dari track-in dan track-out aja gue enggak tahu. Co-dir gue pernah nanya, “Ini mau track-in apa track-out?” Gue malah nanya balik, “Apa bedanya?” [Tertawa].
Baru setelah selesai Ngenest gue belajar lagi tuh. Kayak di YouTube kan ada video macem Every Frame is Painting kan—itu gue tonton satu-satu. Dan dari situ, ternyata gue belajar banyak. Jadi untuk film kedua ini, gue udah ada kemajuan lah. Paling enggak, sekarang gue udah punya visual-treatment. Gue udah nentuin tracking-nya kayak gimana, detail foreground dan background-nya, dan lain-lain. Semuanya pun ada alasannya.
G: Setelah melalui itu semua, buat lo film yang baik itu kayak gimana sih?
E: Pertanyaannya simpel, tapi jawabnya susah. Gue mungkin jawab dari dua segi kali ya. Pertama, kalau terkait idealisme, film yang baik adalah film yang hasil akhir sama ide awal itu sejalan. Kayak misalnya gue nonton Selamat Pagi, Malam. Itu menurut gue, Lucky [Kuswandi] dari awal ya pasti membayangkannya begitu—se-raw dan uncomfortable itu.
Kedua, kalau dari segi lebih umum, menurut gue ... Ini beda nih. Biasanya kan sutradara itu paling sebel kalau ditanyakan soal pesan moral. "Kenapa sih harus ada pesan moral?" Menurut gue, pesan moral itu memang enggak harus. Tapi kan lo bikin sesuatu yang effort-nya minta ampun capeknya, dan berpotensi ditonton jutaan orang. Kalau bisa ada pesan yang baik, ya why not? (Raksa Santana)
Artikel ini sebelumnya tayang di Ruang Gramedia.com dengan judul "Mengintip Cek Toko Sebelah" pada 14 Desember 2016.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.