JAKARTA, KOMPAS.com - Melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional.
Dalam Keppres tersebut dinyatakan tujuan penetapan Hari Musik Nasional. Salah satunya adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap musik nasional.
Selain itu, Hari Musik Nasional diharapkan bisa memotivasi insan musik Indonesia untuk terus meningkatkan prestasi di bidang musik baik nasional, regional, dan internasional.
Lalu bagaimana dengan perkembangan industri musik di Indonesia saat ini?
Internet dan teknologi digital tak termungkiri telah menggeser paradigma musik secara global, tak terkecuali industri musik Tanah Air.
Di Indonesia, teknologi ring back tone (RBT) atau nada pesan lagu sebagai alternatif distribusi musik awal 2000-an menjadi penanda pergeseran tersebut.
Seiring itu, perlahan namun pasti cara pelaku industri berkarya dan cara masyarakat menikmati musik berubah total.
Orang-orang mulai meninggalkan CD, toko-toko musik fisik tutup, dan menjamurnya situs yang menawarkan sistem pembelian sekaligus pemutaran musik secara digital.
Hanya bermodal koneksi internet dan alat bayar elektronik, musik sudah bisa dinikmati. Di sisi lain, publikasi karya musik juga semakin mudah dengan adanya internet.
MySpace, Soundcloud, YouTube, dan kawan-kawannya memantik semangat orang-orang untuk berkarya, baik itu musisi lama maupun pendatang baru.
Pengamat musik Wendy Putranto justru melihat itu sebagai sesuatu yang membanggakan.
"Dari segi industri secara kreatif dan produktivitas itu kita lagi bagus-bagusnya sekarang. Lagi banyak banget album dan singel yang dirilis, bermunculan artis-artis pendatang baru, baik itu band, solo, atau duo," ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (8/3/2017) malam.
Segala hal menjadi mudah dan murah. Dibanding era analog yang membutuhkan biaya mahal dalam proses rekaman, produksi album, serta promosi, sekarang merekam lagu bahkan cukup dilakukan di rumah saja. Penyebarannya pun gampang dengan bantuan internet.
Sejumlah musisi Tanah Air juga menyambut baik kedatangan era digital. Konduktor dan komposer Addie MS, misalnya, merasa sangat terbantu oleh perkembangan teknologi dan internet.
"Digital memudahkan. Misalnya dulu aku kalau nulis partitur butuh pensil, penghapus, sama kertas. Sekarang aku cuma butuh komputer. Kadang-kadang aku kirim partitur ke luar negeri, aku minta mereka (orkestra) ngerekam di situ, aku mengarahkan dari Indonesia melalui Skype," katanya saat berbincang dengan Kompas.com.
Sementara, penyanyi Afgan Syahreza menilai bahwa media sosial memudahkan promosi singel dan album di tengah tenggelamnya toko CD.
"Salah satu caranya kami put out our music adalah di sosial media. Kami bisa promosi, enggak ada harganya ibaratnya (gratis). Itu penting untuk nge-grab pendengar," ucap Afgan usai tampil di Java Jazz 2017, Sabtu (4/3/2017) lalu.
Perjuangan ekstra
Namun bagaikan pisau bermata dua, teknologi digital dan internet juga punya kelemahan. Serba praktis, namun semakin kompetitif.
Tantangannya adalah bagaimana bertahan hidup dan tetap eksis dalam industri musik yang bertambah sesak dan banjir karya.
"Semakin tidak mudah survive. Untuk eksis zaman sekarang lebih sulit. Lebih mudah untuk berkreasi, tetapi untuk bertahan hidup lebih sulit," ujar Addie MS.
Dulu, butuh perjuangan ekstra hingga seseorang bisa mendapatkan sebutan sebagai penyanyi atau musisi.
Mereka harus dinaungi label rekaman besar untuk muncul di layar kaca atau terdengar di radio. Sekarang?
Tak perlu label besar, tak butuh uang banyak, hanya cukup mengunggah karya di dunia maya, semua status dan popularitas itu pun dalam genggaman.
"Cepat populer dan cepat dilupakan orang juga, fenomena sesaat. Terus harus siap-siap di-bully massal kalau melenceng. Era keterbukaan sekarang ini ada dampak dan konsekuensinya," kata Wendy.
Afgan pun, sebagai artis musik, menyayangkan itu. "Orang ngerasa lebih mudah mencapai apa yang mereka mau," ucapnya.
Di era industri musik yang instan ini, kualitas juga menjadi kelemahannya.
"Banyak musik-musik yang buruk beredar di pasaran. Sekarang ini pasar dibanjiri oleh berbagai macam musik dan album yang dirilis tiap hari, tapi enggak semuanya bagus," kata Wendy mencermati fenomena tersebut.
Sejalan dengan itu, pemerhati musik lainnya, Bens Leo, juga mengatakan bahwa segala kemudahan berkarya dan instan itu selain bisa memicu kreativitas, dapat pula menyebabkan sebaliknya.
"Sekarang kalau sebuah band meniru (cenderung sama dengan) karya band lain, maka itu akan bisa lewat. Ini contoh betapa pentingnya karakter musik itu," ucap Bens.
"Hari Musik Nasional, mari kita maknai agar seniman musik bisa bekerja lebih keras kemudian memiliki karakter musiknya, tidak meniru," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.