Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jodhi Yudono
Wartawan dan budayawan

Menulis esai di media sejak tahun 1989. Kini, selain menulis berita dan kolom di kompas.com, kelahiran 16 Mei ini juga dikenal sebagai musisi yang menyanyikan puisi-puisi karya sendiri maupun karya penyair-penyair besar semacam WS Rendra, Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan lain-lain.

Saya Pancasila, Kamu?

Kompas.com - 01/06/2017, 13:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorJodhi Yudono

BANGSA kita memang bangsa yang sangat sastrawi. Bangsa yang gemar bersahut-sahutan dalam pernyataan.

Ya, seperti berbalas pantun itulah. Semua soal dipantunkan lengkap dengan jawabannya.

Pantun berbalas yang kini sedang hangat adalah soal Pancasila. Maklumlah, berbarengan dengan hari lahir Pancasila 1 Juni.

Kelompok yang satu memasang gambar Garuda Pancasila di foto profil media sosial mereka, sementara kelompok lainnya membalasnya dengan pernyataan yang "nylekit".

Atas jawaban itu, kelompok pemasang gambar Pancasila pun membalasnya kembali. Begitulah, berbalas pantun di media sosial pun kian melengkapi derita bangsa ini yang belum bisa lepas dari saling membenci dan mencaci.

Sambil membacai status kawan-kawan di media sosial, saya pun menemukan tulisan lama saya mengenai Pancasila. Saya sebetulnya iseng saja waktu itu, meminta seorang kawan di kantor bernama Julia untuk melafalkan Pancasila.

Keisengan yang muncul begitu saja lantaran anak saya yang masih SMP kala itu, minta kepada saya untuk bercerita tentang sejarah lahirnya Pancasila yang jatuh tiap tanggal 1 Juni.

Julia terbata-bata saat melafalkan sila-sila di dalam teks Pancasila. Sudah 15 tahun semenjak lulus kuliah, Julia memang tidak lagi menghafal Pancasila sebagaimana dia lakukan setiap upacara bendera di sekolah lanjutan dulu.

Begitulah, Julia dengan pelan mengeja kembali sila-sila di dalam "dasar negara" bangsa ini. Tapi apa daya, lantaran tak pernah bertemu kembali dengan kalimat-kalimat sakti di dalam Pancasila, Julia pun gelagapan.

Mungkin juga karena selama ini dia tak benar-benar faham mengenai Pancasila meski sejak kanak-kanak hingga kelas tiga SMA dia fasih melafalkannya.

Kini, saat Pancasila tak pernah dilafalkan, hafalan mengenai Pancasila itu pun menguap begitu saja. Yang tersisa adalah penggalan-penggalan kalimat yang pernah akrab di dalam kehidupannya namun sekaligus tak pernah benar-benar dipahami maknanya.

Bukan Julia seorang saya kira yang "hilang ingatan" mengenai Pancasila. Berjuta-juta anak muda dan bahkan orang tua, mungkin juga telah abai terhadap Pancasila.

Bagi sebagian orang, Pancasila mungkin tak lebih dari kenangan masa lalu yang cuma berada di lembar-lembar buku sejarah. Sebagian lainnya menempatkannya sebagai kenangan kala ditatar P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Berikut ini adalah kata beberapa kawan saya mengenai Pancasila. "Waktu mau masuk kampus ada penataran Pancasila beberapa hari. Kenangannya ya saat akhir acara kita semua nangis karena ternyata kita cinta negeri ini," kata Rini Intama.

Lain dengan Rini yang heroik dan romantis, Mas Prasetyo malah melucu saat ditanya mengenai Pancasila.

Begini katanya, "Tono di sekolah ditanya sama gurunya: 'Ton apa hubungan Pancasila dengan UUD 45?' Jawab Tono 'Baik-baik saja, Bu... Kayaknya ipar-iparan....'"

Sementara Dedy Tri Riyadi mengenang, "Dulu, saya sering ikut lomba cerdas cermat P4 tingkat SMP - SMA. Materinya adalah bulir-bulir penghayatan Pancasila dan TAP-TAP MPR."

Hanny Sukmawati punya pengalaman lain lagi. "Saat kuliah kita ikut ujian negara mata kuliah Pancasila. Karena kampus kita belum disamakan, masih diakui, maka jadilah kita ikut ujian negara Pancasila di Universitas Indonesia," katanya.

"Nah salah seorang temenku pernah ikut ujian mata kuliah tersebut sampai empat kali dan enggak lulus-lulus juga. Kebayang kan ..Padahal yang namanya pelajaran Pancasila dari SD udah "didoktrinkan" atau ikut yang namanya penataran P4 juga kan... tapi kok enggak lulus... lulus...," kenangnya.

"Padahal pertanyaannya juga itu itu saja, tentang butir-butir Pancasila yang jumlahnya banyak... Sampai akhirnya kita godain aja kalau kamu yang kelima kali ga lulus juga akan dipanggil ke komdak hehe..." katanya.

"Aku dulu hafal sampai ngelothok butir-butir Pancasila karena jadi wakil cerdas cermat P4 seprovinsi, acaranya mewah di Surabaya, dapat uang saku banyak, uangnya kubelikan buku banyak.... Tapi sekarang aku bisa lupa sama sekali butir P4 ada berapa... Hahahaha..." ungkap Johana Ernawati yang seorang wartawati.

Senada dengan Mas Prasetyo, Aries Tanjung juga punya cerita lucu tentang Pancasila.
Guru: A, Pancasila ada berapa?!..
Murid A: Tujuh bu!...
Guru marah.
Murid B: Pssst,...Pancasila itu ada lima!...
A: "Huuh,...aku jawab tujuh aja dimarahin, apalagi lima!...

Nah, begitulah kawan-kawan saya bicara mengenai Pancasila. Di zaman Orde Baru, Pancasila memang menjadi sedemikian powerfull dan "dipaksakan" agar diserap oleh para pelajar dan mahasiswa.

Selain menghabiskan waktu berjam-jam yang melelahkan, juga menghabiskan banyak anggaran. Entah berapa miliar rupiah biaya yang digelontorkan untuk 'proyek' P4 waktu itu.

Hasilnya, seperti kata Johana Ernawati, hafalan mengenai butir-butir Pancasila dalam P4 itu pun menguap begitu saja.

Selanjutnya, kita pun berhadapan dengan zaman yang terus bergerak dan berubah. Dan jawabannya ya seperti kawan-kawan saya di atas saat ditanya mengenai Pancasila.

Padahal di dalam sanubari kita telah ditanamkan pengertian bahwa Pancasila adalah pijakan bangsa ini dalam bertindak. Pancasila seharusnya menjadi ruh dalam kita bergerak.

Pancasila bukan sekadar hafalan yang harus diucapkan tiap kali anak-anak sekolah melaksanakan upacara bendera.

Atau menurut penyanyi Iwan Fals dalam lagu "Bangunlah Putra-putri Ibu Pertiwi", "Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut/ Yang hanya berisikan harapan/ Yang hanya berisikan khayalan."

Ya ya... Pancasila adalah ideologi yang seharusnya menjadi kenyataan hidup bangsa ini. Pancasila oleh para pendiri Republik ini juga dimaksudkan sebagai "way of life", sebagai jalan hidup yang bisa membuat bangsa ini lebih berdaya.

Tapi entah apa soalnya, bangsa ini tidak juga menjadi bangsa besar semenjak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bahkan beberapa negara tetangga kita menyalipnya kencang-kencang dan lalu meninggalkan kita jauh di belakang.

Entahlah, yang salah itu "jalannya" atau "yang berjalan". Yang terang, bangsa ini seperti berjalan di tempat.

Sementara negara-negara ASEAN telah beranjak menuju kemakmuran, kita masih berkutat dengan persoalan-persoalan enggak mutu macam korupsi dan sebangsanya.

Maka tak heran jika almarhum Harry Roesli yang dulu dikenal sebagai seniman bengal itu, rada frustrasi jika menyanyikan lagu "Garuda Pancasila". Inilah lirik Lagu "Garuda Pancasila" versi Harry Roesli:

Garuda pancasila
Aku lelah pendukungmu
Sejak proklamasi
Selalu berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apaaaa
Rakyat adil makmurnya kapaaan
Pribadi bangsaku
Tidak maju majuu
Tidak maju majuu
Tidak majuuuu majuuuu

***
Pancasila oh.. Pancasila... Susah payah dulu para pendiri bangsa ini mencari dan menemukannya untuk dijadikan jalan dalam kita bertindak.

Tentu saja agar kita tak sesat dan menjadi bangsa abal-abal. Kita diharapkan menjadi bangsa yang berketuhanan, bangsa yang welas asih dan menghargai kemanusiaan, bangsa yang bersatu dan tidak tercerai-berai, bangsa yang demokratis, dan bangsa yang berkeadilan.

Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Presiden pertama RI itu berucap: "Kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa--namanya ialah Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi."

Siapapun, termasuk kita, boleh mendakwa bahwa Pancasila bukanlah murni pemikiran Bung Karno. Pancasila hanyalah hasil otak-atik otak dari nilai-nilai hidup bangsa lain.

Apa boleh buat, sebagai hasil buah pikir, tentu Bung Karno tak bebas nilai. Karena pergaulannya yang luas, bisa saja Bung Karno terpengaruh oleh ide atau faham lain orang.

Umpamanya, buah pikiran Bung Karno di dalam Pancasila itu, mirip dengan asas negara Republik China yang dikemukakan oleh Dr Sun yat Sen.

Pancasila juga tak beda dengan asas Aquinaldo pimpinan nasionalis Filipina, juga empat asas Pridi Banoyong dari Thailand (1932 M): Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme, Religius.

Juga asas dari Pandit Jawarhal Nehru tentang dasar negara India merdeka, yang dibahas di depan Indian Kongres: Panc Svila yang meliputi: Nasionalisme, Humanisme, Demokrasi, Religius, Sosialisme.

Tapi sebentar, jauh sebelum bangsa-bangsa lain memiliki asas yang mirip-mirip Pancasila itu, konon, bangsa ini sudah memiliki sebutan Pancasila.

Sebagian orang meyakini, bahwa Pancasila yang kini menjadi dasar dan falsafah negara, pandangan hidup, dan jiwa bangsa merupakan produk kebudayaan bangsa Indonesia yang telah menjadi sistem nilai selama berabad-abad lamanya.

Pancasila bukanlah merupakan sublimasi atau penarikan ke atas (hogere optrekking) dari Declaration of Independence (Amerika Serikat), Manifesto Komunis, atau paham lain yang ada di dunia.

Pancasila tidak bersumber dari berbagai paham tersebut, meskipun diakui bahwa terbentuknya dasar negara Pancasila memang menghadapi pengaruh ideologi pada masa itu.

Istilah “Pancasila” pertama kali dapat ditemukan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular yang ditulis pada Zaman Majapahit (Abad 14).

Dalam buku tersebut, istilah Pancasila diartikan sebagai lima perintah kesusilaan (Pancasila Krama), yang berisi lima larangan sebagai berikut:
a. Melakukan kekerasan
b. Mencuri
c. Berjiwa dengki
d. Berbohong
e. Mabuk akibat minuman keras

***
Sebetulnya tak soal, apakah Pancasila itu mirip atau bahkan sama dengan falsafah hidup bangsa lain atau tidak. Yang jadi soal adalah, ketika Pancasila tak menjadi apa-apa dalam hidup kita.

Yang jadi soal adalah ketika Pancasila malah menjadi bibit sengketa antar-anak bangsa. Yang satu bilang sejak kapan kamu pancasialis, sedangkan hidupmu jauh dari norma-norma Pancasila.

Ada lagi yang menuduh kelompok pemasang gambar "Saya Indonesia Saya Pancasila", sebagai mualaf Pancasila. Hadeeeh... kapan kita berhenti sejenak berbalas pantun begini? @JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com