Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Coming Home with Leila Chudori: Menyusuri Pelosok Dunia Bersama Famega dan Sigit

Kompas.com - 01/07/2020, 09:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Bus Ulaanbaatar – Ulan Ude
Jarak Tempuh : 585 km
Total Jarak dari Indonesia: 8.585 km"

DEMIKIAN Famega Syavira Putri memulai setiap bab perjalanannya. Tidak puitis, tetapi beirama. Menyajikan sepotong fakta keras sebagaimana fitrahnya sebagai seorang wartawan BBC Indonesia.

Tetapi ketika Anda menikmati buku catatan perjalanannya berjudul "Kelana" (Commabooks, Kepustakaan Populer Gramedia) ini, maka terlihat Famega bukan wartawan biasa yang pergi menunaikan tugas dan selebihnya berbelanja oleh-oleh.

Catatan yang ditulis dalam buku ini adalah sebuah perjalanan panjang yang dipersiapkan dengan menabung begitu lama dan cermat agar dia bisa berpetualang tanpa melakukan tugas jurnalisme yang selalu dirongrong tenggat.

Di dalam kata pengantar, Famega mengutarakan bahwa dia mengelilingi 18 negara, 44 kota dalam waktu 4,5 bulan melalui jalur darat dan laut. Alasan Famega memilih perjalanan melalui bumi dan air--dan menghindar penerbangan--adalah "untuk mengurangi jejak karbon".

Tetapi sebagai pengelana sejati, Famega juga memilih jalan darat dan air karena "saya bisa melihat proses perubahan landscape dan warga lokal," katanya menjawab pertanyaan dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" yang tayang hari ini.

Dengan bahasa sederhana, sesekali liris, Famega menanggalkan segala "tugas jurnalisme" dan lebih menikmati perubahan dari satu kota ke kota lain dengan bus, kereta api atau kapal; berkenalan dengan warga lokal dan "bergerak sesuai alam" tanpa rencana besar dan rinci.

Bahkan, untuk pindah kota atau negara, Famega mengaku sengaja tak memesan tiket, melainkan membeli tiket sehari sebelumnya atau pada hari keberangkatan.

Bacalah bagaimana Famega mencatat perjalanan solonya dari Indonesia ke Afrika, melewati jarak lebih dari separuh lingkar bumi itu:

"Di dalam hutan Siberia, di desa kecil di Laos, di keramaian Barcelona, ketika saya sedang dalam kesulitan, selalu ada tangan terulur memberikan bantuan. Maka perjalanan ini adalah perjalanan merayakan perbedaan. Kita semua berbeda, tapi bersatu dalam kemanusiaan."

Travel writing atau catatan perjalanan di Indonesia selama ini memang belum merupakan sebuah "aliran" yang lazim, jika kita bisa mengatakannya demikian. Di dalam lemari referensi saya ada beberapa nama.

Bukan sekadar Pico Iyer yang menyatakan, "For more and more of us, home has really less to do with a piece of soil, than you could say, with a piece of soul".

Bukan pula wartawan politik internasional PJ O'Rourke yang menganggap "perjalanan (turistik) biasa akan membosankan" sehingga dia selalu lebih mendalami gaya kehidupan warga lokal sehari-hari untuk bisa menjadi cermin situasi sosial dan politik negara tersebut.

Tulisan perjalanannya tentang Korea Selatan di tahun 1987 atau kisah Filipina Pasca Marcos yang bisa ditemui dalam bukunya yang terkemuka dan laris berjudul "Holidays in Hell", di mana dia lebih suka menggambarkan reaksi masyarakat umum terhadap perubahan politik yang terjadi di negaranya.

Jika Famega menguraikan kontaknya dengan berbagai orang baru di setiap negara yang dikunjunginya (dengarkan di podcast ini apa yang dialaminya di Rusia), Sigit Susanto adalah penulis perjalanan yang menikmati napak tilas para sastrawan seperti Franz Kafka di Praha; atau jejak Ernest Hemingway di Havana atau, yang paling asyik, toko buku Shakepeare & Co di Paris, di mana para sastrawan Eropa pernah berkumpul di sebuah masa dalam karier kepenulisan mereka.

Sigit sudah menghampiri lebih dari 40 negara di dunia yang semuanya ditumpahkan dalam tiga jilid buku berjudul "Menyusuri Lorong-lorong Dunia" (Insist Press).

Pada catatan perjalanannya jilid pertama, Sigit bercerita dengan jujur bercerita tentang perasaannya, kegamangannya kali pertama menginjak tanah Eropa. Penggambarannya tentang pengalamannya salju digambarkan sebagai "tepung yang berserakan."

Diskusi dengan kedua penulis perjalanan ini kami bagi menjadi dua episode. Perbincangan dengan Sigit yang seru tentang perjalanan napak tilas ke berbagai tempat penting para sastrawan akan diudarakan sebagai penutup "Coming Home with Leila Chudori" musim tayang ke-3, Rabu 8 Juli 2020.

Adapun obrolan bersama Famega Syavira Putri sudah mengudara hari Rabu pekan ini di Spotify.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com