Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Coming Home with Leila Chudori: Robertus Robet, Orwellian dan Kerapuhan dalam Demokrasi

Kompas.com - 12/08/2020, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

War is Peace. Freedom is Slavery. Ignorance is Strength.

MENGAPA novel Nineteen Eighty-Four yang dilahirkan tahun 1949 itu masih terasa relevan? Mengapa ia terasa seperti sebuah karya yang tetap penting di tahun 2020?

Mengapa ketika hampir semua negara mengaku sebagai penganut demokrasi, berbagai istilah di dalam novel karya George Orwell seperti Omnipresent Government, Doublespeak, Surveillence, Historical Rewriting, dan Propaganda terasa seperti sesuatu kita kenal, meski Orwell sendiri mengaku bahwa dia terinspirasi dengan situasi totalitarian di masa Perang Dunia II, Nazi Jerman dan Soviet di masa Stalin?

Dalam episode pertama podcast "Coming Home with Leila Chudori" Musim Tayang 4, dosen Jurusan Fakultas Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet menyatakan bahwa Orwellian akan selalu penting.

Itu karena sifat fragility in democracy, yakni bahwa kelemahan atau fragile-nya demokrasi adalah membiarkan atau mengizinkan hal-hal yang bisa membunuh demokrasi tetap hidup, sehingga pada satu saat, jika organ-organ sebuah negara demokrasi mulai rapuh, tumbanglah segalanya.

Demokrasi adalah upaya tawar-menawar yang terus-menerus: seberapa banyak masyarakat berhak mengekspresikan kebebasan pandangan dan pikiran, hak ekonomi dan pendidikan, serta seberapa jauh aturan dan undang-undang bisa membatasi hak-hak tersebut.

Dalam upaya tawar-menawar itu, tentu saja akan ada kekacauan, kericuhan, pertengkaran, tetapi paling tidak selalu ada keinginan bersama untuk tidak berubah menjadi negara totalitarian.

Dalam novel "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell, jagat fiktif totalitarian itu bernama Oceania.

Melalui tokoh Winston Smith, seorang anggota partai lapisan terbawah, kita langsung bertabrakan dengan sebuah dunia di mana rasa takut dan panik dipelihara dengan tekun.

Masyarakat terus-menerus didera rasa cemas oleh "serbuan asing" dan oleh pengawasan Big Brother is Watching You dari layar besar di semua sudut kota dan ruangan.

Dalam jagat ini, mereka harus berkomunikasi dalam bahasa Newspeak untuk mengeliminasi cara berpikir yang kritis.

Jika sampai ada yang berani berpikir tak seragam, apalagi memberontak, mereka akan dikirim ke kamar 101 untuk menghadapi siksaan luar biasa.

Jagat Orwell beserta isinya, terminologi dan tokoh-tokohnya adalah sebuah sebuah dystopia yang sesungguhnya nyata.

Angka 1984 bukanlah sebuah angka ramalan, melainkan angka yang berlaku sepanjang masa, karena seperti yang diutarakan Robertus Robet dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" yang tayang Rabu pekan ini, betapapun kita mengupayakan demokrasi, justru karakternya untuk "membuka" dan "merangkul" apa pun termasuk elemen yang akan membunuhnya, membuatnya menjadi rapuh.

Pembahasan novel "Nineteen Eighty-Four" karya George Orwell ini bisa didengarkan di Spotify.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau