JAKARTA, KOMPAS.com - Kelas Cerpen Kompas kembali diselenggarakan dalam rangka memperingati ulang tahun harian Kompas yang ke-52.
Kegiatan yang telah memasuki tahun kelima ini diselenggerakan Kompas sebagai komitmen dalam merawat tradisi fiksi koran, khususnya cerita pendek atau cerpen. Melalui Kelas Cerpen Kompas ini diharapkan akan tumbuh cerpenis-cerpenis baru yang menghidupi sastra Indonesia.
Kelas Cerpen Kompas menjadi satu rangkaian dengan acara tahunan Penganugerahan Cerpen Pilihan Kompas yang telah berlangsung sejak tahun 1992.
Kegiatan tersebut berlangsung mulai hari ini Rabu (14/6/2017) hingga Kamis petang (15/6/2017) yang dilanjutkan dengan ngabuburit bersama cerpenis Kompas dan Jamuan Malam Cerpen Kompas 2017. Dalam acara jamuan tersebut, cerpen terbaik 2016 akan diumumkan.
Peserta Kelas Cerpen Kompas tahun ini datang dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Batam, Banjarbaru di Kalimantan Selatan, Tulungagung di Jawa Timur, Bandung Jawa Barat, juga wilayah Jabodetabek.
Sebelumnya, para peminat diwajibkan mendaftar dan mengirimkan karya cerpen masing-masing. Dari semua karya yang masuk itu kemudian dipilih 15 cerpen oleh editor seni Kompas Minggu. Penulis dari 15 cerpen yang lolos kurasi itu lah yang kemudian dapat mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2017.
Para peserta kali ini rentang usianya cukup lebar, mulai dari 57 tahun hingga 15 tahun, sembilan orang laki-laki dan enam orang perempuan.
Setiap peserta mendapat kesempatan mengonsultasikan karyanya dengan para pemberi materi yaitu editor seni Kompas Minggu Putu Fajar Arcana, penulis Linda Christanty, dan penyair Joko Pinurbo.
Mengelola gagasan
Putu Fajar Arcana mengungkapkan, salah satu yang menjadi isu penting dalam Kelas Cerpen Kompas adalah persoalan mengelola gagasan menjadi cerita. Sebenarnya hal itu adalah persoalan mendasar dalam kepenulisan.
Gagasan menjadi landasan penulisan segala bentuk seperti penulisan opini, esai, berita, hingga karya fiksi.
Selain itu, dasar dari tulisan fiksi bagaimanapun juga menyangkut data dan fakta. Ini bisa misalnya berupa fenomena, peristiwa, ataupun mitos. Dari materi-materi ini, bagaimana cerpenis mengelola data dan fakta hadir sebagai karya baru berupa cerpen yang menyimpan gagasan.
“Öleh karena itu, cerpenis butuh pengetahuan dasar tentang estetika, dasar-dasar artistik. Misalnya dia paham soal plot, penokohan karakter, peristiwa, konflik, termasuk penguasaan bahasa. Dua hal itu, gagasan dan bahasa yang kerap lemah. Penulis baru kadang menyepelekan bahasa. Bagaimana dia membuat paragraf saja kita bisa tahu penulis lama atau baru,” kata Can, panggilan akrab Putu Fajar Arcana.
Dalam sesi konsultasi dengan pemberi materi, para peserta biasanya mengungkapkan permasalahan mereka dalam menggarap cerita. Hal yang dikeluhkan biasanya soal “kehabisan napas” di tengah ceirta, tersesat di tengah jalan dalam proses pengembangan cerita, sehingga kehilangan fokus.
Sesuatu yang sebenarnya cukup menjadi keterangan sampiran, penulis bisa terhanyut di dalamnya. Satu hal lagi yang juga biasanya menjadi masalah adalah penutup cerita atau ending.
“Banyak pengarang tidak percaya diri bahwa ceritanya sudah cukup. Ada yang menutupnya dengan seperti berceramah, memberi penjelasan pesan moral, seperti mengajari pembaca, dan semacamnya. Padahal pesan-pesan seperti itu tidak perlu dijelaskan secara harafiah. Namun biarkan menjadi tafsir yang menjadi wilayahnya pembaca,” ujar Can.
Menurut Can, satu hal yang harus diingat pengarang, sebuah karya sastra punya karateristik prismatik atau multitafsir. Dan berbagai tafsir itu menjadi hak dari pembaca. Pengarang sebaiknya tidak mengunci karyanya dalam tafsir tunggal.
Halaman berikutnya: Peserta termuda