Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Strategi Kebudayaan di Museum dan Festival Seni, dari Trump hingga Sheikha

Kompas.com - 10/07/2017, 17:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Ia terkenal dengan keberaniannya membeli lukisan paling mahal dunia pada 2015, karya maestro Eropa Paul Gauguin seharga 300 juta dollar AS dan memboyongnya ke museumnya di Doha.

Belum lagi, koleksi lainnya, seperti milik karya Cezanne, Mark Rothko sampai Damien Hirst, Jeff Koons, Andy Warhol dan Roy Lichtenstein serta Francis Bacon.

Belajar pada Jerman dan Yunani

Donald Trump, sekali lagi juga wajib belajar pada negara sejawatnya di Eropa, yang menggelar festival seni kontemporer terpenting sejagat, Documenta 14 di Jerman dan Yunani.

Tak peduli Eropa sedang dilanda krisis keuangan, pengungsi Timur Tengah dan terorisme global, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier dan Presiden Yunani Prokopis Pavlopoulos, April lalu meresmikan hajatan “Mekkah seni kontemporer” lima tahunan yang dihelat sejak 1955 bernama Documenta.

Untuk pertama kalinya Documenta 14 diresmikan di luar wilayah Jerman, dimulai di Athena, Yunani. Sedangkan mulai Juni sampai September depan tetap digelar di Kassel, Jerman.

Gelaran Festival Documenta 14 tahun 2017 ini sejak awal memang terasa “panas-dingin”. Sebuah pesta seni budaya yang memikat jutaan pulik luas dan seniman-seniman, aktivis, edukator, arsitek sekaligus desainer terbaik sedunia yang sempat memancing polemik di Eropa.

Sejak beberapa tahun belakangan memang Jerman dan Yunani berupaya mencari jalan tengah di antara ketegangan persoalan krisis serius keuangan yang melanda Yunani. Kemudian, bagaimana Jerman meninjau ulang program bail-out-nya berupa pemberian utang ke negara berperadaban tua itu.

Ironisnya, hal tersebut dianggap oleh sebagian kekuatan-kekuatan politik di Athena mempercepat Yunani ke jurang kebangkrutan.

Festival Documenta 14, sepertinya sebuah solusi awal, ajang demonstrasi bahwa kedua negara sepakat, ini saatnya ujaran Toynbee di awal esai ini dipraktikkan.

Eros bangsa Eropa tak akan redup, ia musti berdiri tegak lagi memberi energi agar dua negara saling memahami, saling memberi, dari ancaman krisis apapun yang melanda mereka.

Tema besar festival ini, “Learning to Athens” membuka cakrawala, menyatukan hati ingin kembali menekuri jejak para bijak-bestari yang melahirkan budaya agung Eropa dan kejayaan peradabannya selama ribuan tahun itu dengan sebuah gelaran pesta seni dan budaya.

Documenta 14 adalah sebuah politik kebudayaan yang nyata dari Eropa. Sebuah contoh, karya milik seniman Marta Minujin yang dipamerkan dan menyedot kekaguman pengunjung karena ukuran raksasanya.

Ia menyalin kuil Parthenon dan pesannya yang mempromosikan demokrasi yang dianggap sebagai “pilar kebudayaan liberalisme Barat” berakar dari filsuf Yunani, Aristoteles. Minujin menyebut karyanya dengan mengasosiasikan pengalaman kelam negerinya, di Argentina, tatkala junta militer (1976-1983) yang merepresi rakyat berakhir.

Dengan demikian, kebebasan, prinsip-prinsip berpendapat dan mengeluarkan pikiran, yang berupa buku-buku yang dianggap terlarang juga telah sirna. Minujin dengan ide proyek seni instalasi buku berjudul “the Parthenon of Books” menyalak keras di Kassel.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com