Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Strategi Kebudayaan di Museum dan Festival Seni, dari Trump hingga Sheikha

Kompas.com - 10/07/2017, 17:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Minujin dan timnya, menggalang donasi buku-buku yang dianggap terlarang secara politis dari seluruh dunia, selama berbulan-bulan, memperkuat relasi simbol-simbol Yunani, budaya Barat dan pengaruhnya di dunia modern jelas menampak.

Sementara itu, partisipan dari Asia Tenggara yang beruntung mewakili di Documenta 14 ini adalah seniman Thailand, Arin Rungjang, yang mengeksplorasi sejarah munculnya konsep demokrasi juga.

Baca juga: Negeri Terkoyak Tragedi dan Para Seniman

Kita menyaksikan, negara tetangga ini memang rentan pada 2013-2014, sempat mengalami krisis politik yang disebabkan tuntutan mundur perdana menteri Thaksin Shinawatra atas tuduhan korupsi dan mengancam demokrasi Thailand. Serta maraknya “parlemen jalanan” dan aksi-aksi demo anarkis.

Tapi, Rungjan memilih kisah revolusi pada 1973 di Thailand untuk dieksplorasi. Proyek seninya memfokuskan catatan dua situs di Monumen Demokrasi di Bangkok dan di National Technical University di Athena.

Rungjan membuat intalasi patung metal, lukisan, dan drawing serta video yang bertutur seputar 400.000 orang dan mahasiswa yang berpawai melawan junta militer pada 1973, dari Thammasat University ke Monumen Demokrasi, serta pembantaian “gerakan kiri” di universitas yang sama pada 1976.

Peristiwa tersebutlah yang mempertemukan “nasib dua bangsa” dengan pengandaian di Universitas Athena yang juga melakukan perlawanan pada junta militer. Oleh Rungjan, Asia dipertemukan dengan Barat dengan pondasi demokrasi.

Penulis jadi teringat, berbagai tema politik dan ingatan bersama menjelang jatuhnya rezim Soeharto (bahkan puluhan tahun, sejak 80-an) dan kekuatan militer dengan ABRI-nya, tentulah banyak ditemukan dalam karya-karya seniman kita. Sayangnya, Indonesia absen dalam pesta seni lima tahunan sejagat ini.

Dalam sejarah hajatan Documenta di Kassel, seniman Asia Tenggara seperti Vietnam, Kamboja dan Thailand- lah yang berhasil menembus event bergengsi ini. 

Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi Bekraf, Kemdikbud, atau Kemenpar dan seluruh pemangku kepentingan dalam kebijakan seni budaya di Tanah Air.

Tak hanya cara bagaimana seniman seniman Indonesia yang mampu mewakili di event bergengsi dunia seperti di Documenta, Kassel, namun meletakkan pondasi strategi yang jitu bahwa politik kebudayaan Indonesia harus disusun dan diimplementasikan dengan baik.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com