Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Sumpah Laut Sumpah Kita

Kompas.com - 30/10/2017, 12:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Laut, di mana mata airmu
Supaya aku bisa kembali ke asalmu
Laut di mana mata anginmu, supaya aku bisa mengikuti arusmu?
...
aku ingin sendiri dengan laut
dimana kulontarkan cinta kelam
tenggelam dalam gelombang surut

(Subagio Sastrowardoyo, Soneta Laut, 1989)

RUH laut dalam seni sastra dengan indah digambarkan sebagai saripati peradaban bangsa ini. Perspektif historisitas dan imajinasi bangsa berhasil dipanggungkan oleh Subagio secara mistis.

Kata-kata permintaan “laut di mana mata airmu, supaya aku bisa kembali ke asalmu?” menghunjam kedalam sanubari. Yang kemudian diakhiri dengan ketakziman untuk mewakafkan jiwa “di mana kulontarkan cinta kelam, tenggelam dalam gelombang surut” di akhir puisi.

Datangnya modernitas memang janji kesejahteraan untuk semua. Dibisikkan ke telinga-telinga para pemimpin dan dimantrai di seluruh mimpi-mimpi mereka oleh para imperialis Eropa, dulu dalam pelayaran samudera selama berabad-abad.

Tapi kemudian, nyatanya mengiris-iris nadi bangsa ini, memisahkan secara perlahan-lahan kedekatan hati kolektif kita pada puncak peradaban kemaritiman masa lalu.

Kita dijauhkan dari laut, bahkan inferioritas menubuh, laut hanya simbol dari kegamangan dan hutang pada para bijak dan leluhur yang tak pernah secuilpun mampu terbayar.

Ia semacam kekerdilan, yang laut dijadikan jargon-jargon politik dan atas nama pembangunan, entah pembangunan yang mana dan untuk siapa usai bangsa ini memerdekakan diri dari kolonialisme.


Penekun tradisi laut

Puluhan kapal selerek ikut melarung sesaji di lautan lepas di tradisi Petik Laut Muncar, di Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (16/10/2016).KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI Puluhan kapal selerek ikut melarung sesaji di lautan lepas di tradisi Petik Laut Muncar, di Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (16/10/2016).
Meski sebagai takdir, yang diujarkan dari masa ke masa sebagai manusia bahari, yang katanya laut telah memberi batas pada ribuan pulau-pulau di Nusantara, sampai kini laut masih kita mimpikan.

Berharap ia mampu mengembalikan ikatan komunal lama sekaligus menyambut ingatan bersama dalam tiap hari baru.

Pergi menziarahi laut, bagi para penyuka pengembaraan rasa, diitikadkan keniscayaan peneguhan, membuka introspeksi batin bangsa. Menyiangi yang telah lama berdetak dalam budaya, meleburkan yang dahulu pada gegap-gempita masa kini di era globalisasi.

Kita perlu belajar pada penekun tradisi, orang-orang yang masih tetap yakin, seperti nelayan-nelayan di desa Muncar, Banyuwangi. Sebuah wilayah di ujung paling timur Pulau Jawa yang mensakralkan laut dengan ritual Petik Laut-nya.

Masyarakat pesisir, yang menetap di tepi pantai, memiliki cara unik memaknai religi, bahasa, seni, cara mencari nafkah, membentuk organisasi pun memahami kearifan pengetahuan lokal mereka.

Secara turun temurun Ritual Petik Laut adalah proyeksi rasa syukur masyarakat majemuk pesisir Banyuwangi kepada Tuhan Yang Maha Esa di jalan kebudayaan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau