Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Era Melihat ke Dalam Diri

Kompas.com - 23/11/2017, 21:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

SEJAK berakhirnya abad ke-20 kita, makin santer mendengar tentang era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity). Yakni sebuah kondisi zaman yang menghadirkan kejutan perubahan-perubahan masif yang tak alang kepalang membingungkan. Seperti sebuah tsunami psiko-kultural pada masyarakat dunia. 

Sebagai contoh, pelaku-pelaku bisnis multinasional mengalami kebangkrutan dengan adanya revolusi teknologi digital, sampai kegamangan negara-negara adikuasa memahami kebangkitan raksasa ekonomi baru dari teritori Asia.

Datangnya era VUCA ini memicu ketegangan-ketegangan dengan hadirnya nilai-nilai “tradisionalisme anyar”. Yang paling menonjol, dalam konteks budaya, adalah peradaban yang nonmainstream dibawa dari ribuan tahun lewat, kemudian diadaptasi ulang dengan pendekatan yang khas.

Sebuah panggung fenomena hibriditas budaya-budaya seluruh pelosok dunia yang sangat unik ditampilkan secara setara.

Budaya-budaya lama dari peradaban bangsa-bangsa China, Jepang, Korea, India, Timur Tengah-Arab dan sebagian negara-negara Amerika Latin serta Afrika mengisi babak-babak baru abad ini. Yang dulunya mereka, dalam 200 tahun terakhir, menyerahkan sepenuhnya planet Bumi ini pada peradaban unggul yang dikatakan sebagai “Barat”.

VUCA atau akronim dari volatile, uncertainty, complexity, dan ambiguity, adalah senyatanya kondisi yang dikatakan manusia tak mampu mengatasi situasi disruptif, yang bergelombang dengan cepat, tidak pasti, kompleks dan sifatnya yang ambigu.

Tentu saja, jika lebih dipertajam lagi, fenomena ini tak hanya menghantam eksistensial kesadaran manusia-manusia yang tidak siap menghadapi perubahan-perubahan yang tidak hanya menyangkut kondisi geografis saja, yakni antara wilayah Timur dan Barat.

Namun, sejatinya memahami bahwa paradigma lama-lah yang mulai ditanggalkan dan telah melapuk.


Timur dan Interkonektivitas

Kemudian paradigma yang anyar seperti apakah dan bagaimana pula nasib dari nilai-nilai yang dikatakan yang lama itu? Paradigma baru yang menyangkut nilai-nilai ketimuran, eastern values adalah sebuah jawaban alternatif mengisi jiwa individu-individu saat ini.

Charlene Spretnak, yang sempat oleh majalah TIMES dinobatkan sebagai salah satu pemikir dari 100 perempuan yang berpengaruh di dunia modern, tentang kajiannya di sekitar politik, spiritualitas, seni, dan ekologi menawarkan nilai-nilai religiusitas, dengan konsepnya menyoal revivalitas agama-agama Ibrahimi dan keyakinan non-Ibrahimi dengan pendekatan baru.

Ia selalu dalam ceramahnya membawa konsep tentang diri dan konektivitas manusia, nilai-nilai itu itu sejalan dengan prinsip-prinsip komunalitas, keterhubungan dengan segala hal serta manusia dengan lingkungan ekologisnya, yang dalam sejarah panjang umat manusia terlihat jejak-jejaknya pada peradaban-peradaban kuno di Timur.

Buku-buku nya, dari The State of Grace: The Recovery of Meaning in the Postmodern Age (1993) sampai yang terbaru The Spiritual Dynamic in Modern Art: Art History Reconsidered, 1800 to the Present (2014) mengupas justru nilai-nilai spiritualitas yang kokoh dari seniman-seniman dunia pada abad ke-20, yang dianggap sangat sekuler itu di dunia Barat.

Sementara kritikus seni dunia Suzi Gablik, baik dalam ceramah maupun buku-bukunya sejak 80-an, dengan Has Modernism Failed? (1984). Atau, keyakinannya terhadap estetika yang tidak lagi otonom, yang menjaga jarak terhadap individualisme dan semangat modernisme memulai membangun pemahaman baru tentang seni yang terkoneksi terhadap lingkungan sosial dan upaya-upaya melihat penyembuhan ekologi bumi.

Hal tersebut, sangat memprovokasi para sejarawan dan kritikus-kritus seni sejagat hari ini.
Yang kemudian memunculkan berbagai pendekatan yang dikatakan participatory art atau socially engaged art atau yang sudah lama ada dengan pendekatan baru sebagai aktivisme dalam seni dengan visi utama: seni, budaya lokal, kemanusiaan dan isu-isu sosial.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com