Kembali ke masalah VUCA, dalam konteks kultural, tesis Edward Said dengan bukunya orientalismenya, yang memaparkan sekaligus menggugat tanggung jawab selama ini pada abad-abad yang lalu, bagaimana dunia Barat melihat dunia Timur sebagai objek lambat laun telah terevisi secara alamiah.
Pembela tergigih Said, cendikia keturunan India, Hommi K Bhaba, menyodorkan pada kita tentang kompleksnya kondisi kemanusiaan dan dunia saat ini dan budaya-budaya asli Timur yang mengalami hibriditas dan ambiguitas dalam masa-masa kolonialisme pada sejarah masa lalunya dan terwarisi hingga saat ini.
Gugatan-gugatan itu terefleksikan dan menampak, yang jika kita memaknainya, terlihat dalam fenomena VUCA sekarang dan kajian-kajian paska kolonialisme.
Orientalisme dan oksidentalisme
Fenomena VUCA secara kultural, jika dilihat dalam perspektif nilai-nilai Timur, adalah sebuah momen yang tepat, untuk semangat bertumbuhnya pencarian ilmu-ilmu pengetahuan lokal yang berakar kuat. Untuk mengkaji segala hal tentang dunia yang dikatakan telah mengglobal.
Atau, itikad melihat sebuah konstruksi realitas dunia Timur dari kacamata “sains” dari dunia Timur sendiri, yakni meminjam paradigma oksidentalisme. Misi utama oksidentalisme adalah membuka dialog yang setara, membawa sebuah jembatan pemahaman yang baru sebuah dunia yang telah berubah.
Pada abad-abad yang lalu, kita mengetahui energi terbaik untuk memahami segala ikhwal tentang Timur adalah hasil dari sains yang dikembangkan secara epistemologi dan ontologi-nya oleh para peneliti, sarjana serta penjelajah Eropa, yakni pendekatan-pendekatan keilmuan yang disebut orientalisme dengan Eurosentrisme tersebut.
Sebaliknya, pemikir paling menonjol oksidentalisme dari Mesir, Hassan Hanafi, membawa ide-idenya tentang oksidentalisme dengan kritiknya terhadap dunia Barat, bahwa sudah selayaknya kita membangun sebuah energi criticism agar terlepas dari dominasi kultural.
Sementara, melucuti aspek superioritas dan imperialisme Barat, sembari mengurangi kekeliruannya dalam mengerdilkan Timur di masa lalu dengan Barat sebagai objek kajian, yang selama ini hanya Timur yang menjadi objek penelitian.
Dengan menempatkan diri bahwaTimur, sesuai kodratnya sejajar di tengah-tengah percaturan dunia global akan membangun keseimbangan antara Barat dan Timur menuju perdamaian.
Dari sana, saat yang tepat, generasi milenial Indonesia kembali menengok diri mereka sendiri. Mempertanyakan akar-akar sejarah dan peradaban mereka dari Timur, yang mencari jejak genuine-nya serta interkonektivitasnya membangun ilmu pengetahuan lokal, dengan dasar -dasar epistimologinya dari khazanah budaya Nusantara ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.