Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jodhi Yudono
Wartawan dan budayawan

Menulis esai di media sejak tahun 1989. Kini, selain menulis berita dan kolom di kompas.com, kelahiran 16 Mei ini juga dikenal sebagai musisi yang menyanyikan puisi-puisi karya sendiri maupun karya penyair-penyair besar semacam WS Rendra, Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan lain-lain.

L u r a h

Kompas.com - 09/07/2018, 15:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lurah itu ya pemimpin. Tapi lurah itu juga pamong, pelayan. Antara pemimpin dan pelayan bersatu pada diri lurah. Dia akan dicintai oleh rakyatnya jika dirinya mampu menjadi pelayan yang juga penuh cinta kasih. Dan sebaliknya, bisa dibenci seketurunannya jika sang lurah hanya mengandalkan kekuasaannya saja dalam memerintah.

Minggu lalu, saat menyaksikan video Lurah Empoang Selatan, Jn, membentak-bentak seorang wanita karena berbeda pilihan dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Jeneponto, Sulawesi Selatan, perasaan saya sedih campur sebal.

Bayangkanlah, bagaimana bisa seorang Lurah, yang seharusnya mengayomi, tempat warga mengadu dan bertanya, menjadi bapak yang penuh kasih bagi warganya, tapi justru bersikap congkak kepada "anak-anaknya".

Selain membentak-bentak, sang lurah juga enggan menandatangani surat izin usaha yang disodorkan. Tindakan tersebut direkam oleh sang wanita.

“Saya tidak mau tanda tangan. Kalau saya tidak mau tanda tangan, kau mau apa?” bentak lurah dalam video yang viral itu.

Wanita yang sedang mengurus izin usaha itu pun menanyakan alasan lurah menolak tanda tangan.

“Kalau boleh tahu apa alasannya pak,” tanya wanita dalam video.

“Tidak ada alasan. Saya tidak mau tanda tangan. Ini hak saya. Kenapa ko paksa saya?” jawab Lurah.

“Saya tidak paksa, tapi ini kan hak saya,” timpal wanita tersebut.

“Hak saya juga kalau tidak mau tanda tangan,” tegas sang lurah.

Tidak mendapat tanda tangan dalam pengurusan izin usaha, wanita tersebut kemudian meminta berkasnya dan meninggalkan ruangan Lurah.

Dulu, dua dekade lalu, peristiwa serupa di atas memang kerap kita dengar. Saat kekuasaan digenggam mutlak oleh para penguasa di segala tingkatan. Tapi sehabis reformasi, setelah dunia kian sempit oleh teknologi dan setiap sudut ibarat kata punya mata dan telinga, maka praktik penguasa bertindak sewenang-wenang mulai berkurang; kecuali mereka yang memang pemberang dan rendah budi pekertinya.

Peristiwa yang dilakukan oleh Lurah Jn di Empoang Selatan, Jeneponto, Sulsel, rasanya memang keterlaluan di tengah keterbukaan seperti sekarang. Semua mata kini bisa menyaksikan betapa kasar sikap Pak Lurah terhadap rakyatnya.

Teknologi sudah menjadi saksi tak terbantahkan atas sebuah peristiwa, kendati si Lurah berusaha membantahnya. Si Lurah barangkali sedang lalai, betapa banyak orang berkuasa di belahan bumi mana pun jatuh gara-gara video. Sebab pengadilan bukan hanya digelar di ruang pengadilan, tetapi juga digelar di hadapan publik.

Para penonton video viral itu tentulah bertanya-tanya, bukankah Lurah itu harusnya jadi pemangku. Memangku tanggungjawab dan menjawab semua soal yang diadukan rakyatnya?

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau