Sehabis ngamen di kantor Lingkaran Survey Indonesia (LS) di Jalan Pemuda, Jakarta Timur, saya mengajak beberapa kawan menuju Taman Ismail Marzuki di Jalan Cikini untuk melepas penat sambil berbincang. Pukul 22.00 setelah usai ngobrol, saya mengantar kawan-kawan yang hendak pulang ke Serang hingga kawasan Slipi. Sampai rumah sudah larut malam.
Walhasil, begitu sampai di rumah saya langsung tertidur tanpa ganti pakaian. Bangun pukul 03.00 dini hari, sopir taksi online sudah menunggu di luar. Akhirnya, tanpa mandi dan ganti pakaian, saya dan anak bungsu saya, Yoga, bergegas memasukkan beberapa potong pakaian dan langsung naik mobil.
Hujan deras mengawal kami hingga jalan tol bandara. Syukurlah, jalanan tidak macet dan kami tepat waktu sampai bandara.
Cuaca di angkasa sepertinya sedang tidak baik. Pesawat berguncang berkali-kali. Kantuk lah yang membuat saya abai dengan kecemasan akibat cuaca yang labil. Sebelum tertidur, saya sempat berdoa untuk orang-orang yang saya sayangi, termasuk untuk para dermawan yang sudah merelakan sebagian hartanya untuk menguatkan mereka yang sedang menderita di tenda-tenda pengungsian di Sulawesi Tengah.
Hari sudah terang tanah saat kami sampai di Palu. Mendadak saya kelu. Suasana seperti ini pernah pula saya rasai awal tahun 2005, saat berkunjung ke Banda Aceh yang kala itu usai diterjang gempa dan tsunami.
Bencana..kepedihan, duka, kematian, menjadi sewarna di ingatan saya. Doa-doa segera saya lambungkan, semoga mereka yang tiada beroleh surga, sedang mereka yang masih bertahan diberi kekuatan.
Tepat pukul 08.30 WITA pesawat yang saya tumpangi mendarat sempurna. Di luar bandara, tiga anggota Ikatan Wartawan Online (IWO) yang jadi relawan menyambut kami. Mereka adalah Basri Sangkala (Ketua IWO Sulbar), Abdul Muis (Ketua IWO Pasangkayu) dan Sudirman (Sekretaris IWO Pasangkayu).
Bekas-bekas gempa yang sedang diperbaiki, masih nampak di sekitar Bandara Mutiara SIS Al Jufri, Palu. Tiang yang roboh, tembok retak, dan jalanan yang terbelah, nampak di sana-sini.
Bekas kerusakan kian nampak saat memasuki kota Palu. Kompleks pertokoan, ruko, dan bangunan-bangunan lainnya ada yang roboh sebagian, retak, berantakan, tapi ada juga yang tinggal puing-puing. Seperti di Jalan Veteran, M Syelan, Cut Meutia, dan beberapa sudut kota lainnya.
Basri mengantar kami ke sebuah kedai kopi di Jalan Juanda. Selain melepas penat, kami juga janjian dengan Ketua IWO Sulteng, Andri Gultom, yang kehilangan banyak saudara saat bencana.
Setelah Andri Gultom tiba, saya pun mengutarakan maksud kedatangan kami. Saya bilang ke mereka, saya hendak mengumpulkan data, apa saja sebenarnya yang dibutuhkan anak-anak di pengungsian.
Ya anak-anak.. Kami memang sepakat berkonsentrasi untuk membantu memenuhi kebutuhan anak-anak di tenda-tenda pengungsian. Itulah sebabnya, baik Basri maupun Andri saya minta mendata semua kebutuhan anak-anak. Sebab, dana yang saya peroleh dari ngamen, sebagian besar memang berujud barang sesuai yang diperlukan.
Maka segala keperluan anak pun segera ditulis Basri. Kebutuhan itu berupa buku gambar, pensil warna, buku-buku cerita, buku tulis, pena, pensil, baju seragam sekolah, mainan anak-anak putera dan puteri, tak sekolah putera/puteri, popok, susu...
Saya ingin lekas konkret, itulah sebabnya saya minta segera diantar ke tenda pengungsian. Kawan-kawan pun mengantar saya ke Petobo, sebuah wilayah yang terpendam akibat likuivaksi.
Sepanjang perjalanan menuju Petobo nampak tenda di mana-mana. Tenda-tenda penduduk di halaman rumah mereka dengan bentuk yang sederhana, tenda-tenda tentara, tenda relawan, hingga tenda-tenda yang rapih hasil bantuan luar negeri dari China, Australia, Italia, dan beberapa negara lainnya.