Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jodhi Yudono
Wartawan dan budayawan

Menulis esai di media sejak tahun 1989. Kini, selain menulis berita dan kolom di kompas.com, kelahiran 16 Mei ini juga dikenal sebagai musisi yang menyanyikan puisi-puisi karya sendiri maupun karya penyair-penyair besar semacam WS Rendra, Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan lain-lain.

Cerita dari Petobo

Kompas.com - 03/11/2018, 13:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Catatan empat

Pernah melihat orang mengaduk dodol? Begitulah, tanah yang di atasnya berdiri rumah dan bangunan lain di Petobo, diaduk sedemikian rupa dengan pengaduk pohon kelapa yang tumbuh di atasnya. Maka tak heran, sebuah sekolah bisa bergeser sepanjang 500 meter, dan pohon-pohon kelapa bisa bergeser sepanjang 1,5 km, sementara rumah-rumah penduduk terpendam di dalam tanah.

Beruntunghlah Andri Gultom, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Sulawesi Tengah yang bermukim di Petobo, tak sedang di rumah. Andri sedang berada di Jalan Diponegoro, Palu. Sementara anak-anak dan isterinya berada di Jalan Hang Tuah, Kelurahan Talise, Palu.

Saat senja, usai maghrib, ketika gempa melanda kota Palu dan sekitarnya, Andri tak membayangkan bakal terjadi peristiwa yang membuatnya bakal menjalani hidup dari nol kembali. Baru pada saat Andri hendak kembali ke rumah sekira pukul 22.00 WITA, untuk mengambil barang-barang, dia dihadang oleh masyarakat agar tak meneruskan perjalanan ke rumah karena tempat tinggalnya penuh dengan lumpur.

"Saya masih lebih beruntung dibanding tetangga saya," kata Andri seraya menyebut nama tetangganya yang bernama Arief.  

Arief, 36 th, penduduk Petobo, saat kejadian, anaknya sedang bermain di lorong permukiman bersama kawan-kawannya, sementara isterinya sedang mempersiapkan makan malam, sedangkan Arief diminta isterinya untuk menjaga anaknya bermain.

Saat gempa pertama, Arief melihat tanah terbelah dan empat anak yang sedang bermain--termasuk anaknya-- masuk ke tanah terbelah itu, kemudian menutup lagi. Anaknya turut terpendam di hadapan matanya.

Saat dia berbalik ke belakang, rumahnya rubuh bersama isterinya yang berada di dalam. Dua menit setelahnya, tanah di hadapannya sempurna melebur dan mengisap rumahnya diserta lumpur yang keluar dari tanah. Arief selamat karena memegang pelepah pohon kelapa yang tumbang.

Begitulah, ratusan rumah di Kelurahan Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) tertimbun lumpur hitam pascagempa berkekuatan 7,4 Skala Richter yang mengguncang daerah itu, pada Jumat (28/9).

Tanggul roboh saat gempa mengguncang daerah itu dan seketika lumpur hitam yang berasal dari tanggul kali yang terletak di bagian timur Kelurahan Petobo di Jalan H.M. Soeharto; menghantam rumah-rumah penduduk di bagian Ranjule Kelurahan Petobo sekitar pukul 18.07 Wita. Saat itu, bertepatan dengan waktu shalat maghrib. Banyak masyarakat utamanya beragama Islam berada di masjid.

Kelurahan Petobo menjadi salah satu lokasi terdampak gempa paling parah, selain wilayah Perumnas Balaroa. Ribuan korban diperkirakan masih tertimbun tanah bersama bangunan di dua lokasi itu.

Dua daerah tersebut, yakni Balaroa dan Petobo, merupakan pusat kerusakan paling dahsyat karena rumah dan fasilitas publik di titik itu tertimbun tanah bak ditelan bumi. Menurut sejumlah saksi, beberapa detik setelah gempa 7,4 SR mengguncang Palu, wilayah kelurahan itu terlihat semburan air yang cukup tinggi, lalu tiba-tiba permukaan tanah menurun sehingga ikut menarik seluruh benda di atasnya.

Bahkan, beberapa bangunan seperti masjid bergeser jauh sekitar 50 meter dari posisi semula.

Likuifaksi itu..

Pasca likuifaksi di PetoboKompas.com/Jodhi Yudono Pasca likuifaksi di Petobo

Likuifaksi yang menimpa wilayah Petobo dan Balaroa di Palu, Sulawesi Tengah, disebut-sebut sebagai fenomena langka di Indonesia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau