ADA saat kekuasaan mengendalikan kereta zaman. Saisnya menafsir arah, membaca rambu-rambu jalan kebudayaan. Mereka, dengan tangannya memintal ruh masa dan peristiwa-peristiwa dengan sejumlah rumusan-rumusan.
Totalitas sekelompok manusia yang selalu bertukar posisi, biasa disebut habitus, bersemayam di strata sosial inilah yang memberi warna nasib jutaan manusia kelak.
Sementara dinamika kebudayaan secara alamiah tidak tunggal. Ia semacam takdir, meraup luas spektrum-spektrumnya menjamah ranah politik, ekonomi, ilmu pengetahuan sekaligus yang paling abstraktif dalam hidup manusia, yakni imajinasi tentang diri dan lingkungannya.
Kuasa atas tafsir jalannya kebudayaan bisa jadi benar atau malahan: sesat.
Seperti Adolf Hitler dengan buku Mein Kampf-nya, mencoba menjawab kondisi negerinya yang muram. Buku yang ditulis semasa ia dipenjara, mengandaikan utopia masa depan terang bagi Jerman.
Namun, imajinasi liarnya memastikan politik fasisme paling layak, membuang demokrasi ke keranjang sampah.
Pada akhirnya, nasionalisme sempit memberangus habis budaya Yahudi, bangsa Arya-lah yang paling beradab. Yang tragik, tentu saja mengobarkan perang dunia Ke-II, melecehkan kemanusiaan dengan Holocaust.
Saat lain, pendulum waktu bergerak menemui seorang Bapu (Gujarat-Bapa), memaksa negara Inggeris Raya takluk tidak dengan perang, namun dengan kekuatan spiritual pun gerakan kebudayaan.
Seorang Mahatma (jiwa yang Agung) memobilisasi jutaan manusia turun ke jalan, memakai produk-produk buatan sendiri, memboikot kerja di pabrik-pabrik, menolak segala hal yang asing, berjuang dengan nir kekerasan.
Gandhi dengan Satyagraha-nya (jalan yang benar dan anti kekerasan) membuka mata lebar-lebar berbagai generasi aktivis demokrasi, anti-rasisme pada abad ke-20, seperti Martin Luther King, Jr atau Nelson Mandela.
Di Tanah Air, Ki Hajar Dewantara mengikrarkan akar-akar perubahan yang memberi pemajuan budaya berupa pendidikan. Kuasa dan tafsir bersisihan bersama bagi kaum terjajah yang terdidik.
Ia memandu kemuliaan masa depan yang diraih dengan pendidikan dengan tak menaggalkan nilai-nilai lokalitas, ekspresi-ekspresi seni dan sastra, serta kebajikan-kebajikan yang terwariskan bangsa majemuk ini dalam rentang yang lama.
Ki Hajar Dewantara, yang berdarah bangsawan ini rela meniadakan dirinya dalam strata sosial, melebur di jiwa jelata. Ia sesungguhnya memprovokasi kesadaran kultural, meninggikan kemandirian nalar seraya mencerahkan sebagai seorang guru.
Sosok tauladan, pengayom dan pemompa semangat dengan prinsip ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso dan tut wuri handayani tak akan pernah mati.
Nilai-nilai inilah yang sungguh tak lapuk oleh zaman, bahkan dalam era yang dikatakan revolusi industri 4.0. Hadirnya mesin-mesin dengan kemonceran hitungan algoritma-nya yang kompleks dengan mantra “kebenaran tentang segala hal via internet of things” tetaplah mesin.