KOMPAS.com -- Period, film tentang para perempuan di India, yang membuat pembalut wanita atau pembalut menstruasi, baru saja memenangi piala Oscar 2019 untuk Film Dokumenter Pendek Terbaik.
Wartawan BBC Geet Pandey bertemu langsung dengan para perempuan di desa itu sebelum ajang penghargaan tersebut berlangsung.
Sneh berusia 15 tahun ketika dia mulai menstruasi. Kali pertama dia datang bulan, dia sama sekali tak memahami apa yang terjadi dengannya.
"Saya sangat takut. Saya pikir saya mengidap sakit yang serius dan mulai menangis," ujar Sneh kepada Geet Pandey ketika Pandey menyambangi rumah Sneh di Desa Kathikhera, tak jauh dari Ibu Kota India, New Delhi, awal minggu ini.
"Saya tidak memiliki keberanian untuk memberitahu ibu saya, lalu saya mengungkapkan isi hati saya ke bibi saya. Dia berkata, 'Kamu perempuan dewasa sekarang, jangan menangis, hal ini normal.' Dia yang kemudian memberitahu ibu saya," tuturnya.
Baca juga: Inilah Lima Film Berbahasa Asing yang Bertarung dalam Oscars 2019
Sneh, yang kini berusia 22 tahun, sudah beranjak jauh dari titik itu.
Dia bekerja di sebuah pabrik kecil di desanya yang membuat pembalut dan menjadi tokoh protagonis dalam Period, film dokumenter yang menjadi pemenang film dokumenter pendek terbaik tahun ini dalam Oscars 2019.
Dia pun menghadiri perhelatan Oscars 2019 di Los Angeles, California, AS, Minggu (24/2/2019) waktu setempat.
Baca juga: Para Kerabat di Mesir Rayakan Kemenangan Rami Malek
Film ini lahir setelah sebuah kelompok mahasiswa di Hollywood Utara memanfaatkan penggalangan dana atau crowdfunding untuk mengirim mesin pembuat pembalut ke Desa Kathikhera.
Kelompok yang sama juga menerbangkan sutradara film campuran Iran-Amerika, Rayka Zehtabchi, ke desa yang sama.
Berjarak 115 km dari New Delhi, desa yang terletak di Distrik Hapur ini merupakan dunia yang jauh dari mal mewah dan gedung tinggi di Ibu Kota.
Biasanya, desa ini bisa ditempuh selama dua setengah jam perjalanan dari New Delhi, tetapi pekerjaan konstruksi di jalan raya memperlambat perjalanan itu, membuat waktu tempuhnya menjadi empat jam.
Perjalanan 7,5 km terakhir ke desa itu dari Kota Hapur pun ditempuh dengan penuh perjuangan, melalui jalan-jalan berliku, sempit, yang dibatasi oleh aliran sungai di kedua sisi.
Baca juga: Queen dan Adam Lambert Umumkan Penayangan Film Dokumenter Baru Mereka
Film dokumenter ini mengambil tempat di peternakan dan ladang serta ruang kelas di Kathikhera.
Sebagaimana di bagian lain India, menstruasi merupakan topik yang tabu.
Perempuan yang sedang menstruasi dianggap tidak bersih dan dilarang memasuki tempat-tempat keagamaan serta sering kali juga disingkirkan dari kegiatan sosial.
Dengan banyaknya stigma sekitar isu ini, tak mengherankan Sneh tidak pernah mendengar tentang menstruasi sebelum akhirnya dia mengalaminya sendiri.
"Itu bukan suatu topik yang dibicarakan--bahkan antar para gadis," ucapnya.
Baca juga: Rami Malek Bawa Pulang Piala Oscar 2019 sebagai Aktor Terbaik
Namun, hal ini perlahan mulai berubah ketika sebuah badan amal di bidang kesehatan reproduksi, Action India, mendirikan unit pabrik pembalut di desanya.
Pada Januari 2017, Sneh diajak oleh Suman, tetangganya yang bekerja di Action India, untuk bekerja di pabrik itu.
Sebagai seorang sarjana yang bermimpi untuk bekerja sebagai polisi di New Delhi suatu saat nanti, Sneh menuturkan bahwa dia sangat tertarik akan tawaran itu.
Lagi pula, "Tidak ada lapangan pekerjaan lain," di desanya, katanya.
"Ketika saya minta izin Ibu, dia berkata, 'Tanya ayahmu.' Di keluarga kami, semua keputusan penting harus diputuskan oleh seorang pria," lanjutnya.
Dia sangat malu ketika harus memberitahu ayahnya bahwa dia akan bekerja membuat pembalut, jadi dia mengatakan kepada ayahnya bahwa dia akan membuat popok bayi.
"Baru dua bulan kemudian, Ibu memberitahu ayah saya bahwa saya membuat pembalut," ujarnya sambil tertawa.
Dan, ayahnya berujar, "Tak apa, pekerjaan adalah pekerjaan."
Baca juga: Bohemian Rhapsody Berjaya, Ini Daftar Lengkap Pemenang Oscar 2019
Kini, sebanyak tujuh perempuan, berusia 18 hingga 31 tahun, bekerja di unit ini.
Mereka bekerja dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00 selama enam hari dalam seminggu dan mendapat gajii sebesar 2.500 rupee atau hampir Rp 500.000 tiap bulannya.
Pabrik ini menghasilkan 600 pembalut tiap hari dan produk itu dijual dengan merk Fly.
"Masalah terbesar yang kami hadapi adalah pemadaman listrik. Terkadang kami harus kembali pada malam hari untuk bekerja ketika listrik menyala untuk memenuhi target produksi," cerita Sneh.
Bisnis kecil ini, yang dijalankan dari rumah dengan dua kamar di desa, telah membantu meningkatkan kebersihan perempuan.
Sebelum pabrik ini didirikan, sebagian besar perempuan di desa tersebut menggunakan potongan kain yang dipotong dari sari tua atau seprai ketika mereka mengalami menstruasi.
Sekarang, 70% dari mereka menggunakan pembalut.
Produk ini juga menghilangkan stigma tentang menstruasi dan mengubah sikap masyarakat konservatif dengan cara yang tidak terbayangkan beberapa tahun yang lalu.
Baca juga: Cleo, Si Perempuan Perkasa Roma
Sneh mengatakan bahwa menstruasi sekarang dibahas secara terbuka di kalangan perempuan. Tapi, katanya, ini bukan perjalanan yang mudah.
"Awalnya sulit. Saya harus membantu ibu saya mengerjakan pekerjaan rumah, saya harus belajar dan melakukan pekerjaan ini. Kadang-kadang, selama ujian saya, ketika tekanannya terlalu banyak, ibu saya menggantikan saya bekerja," ceritanya pula.
Ayah Sneh, Rajendra Singh Tanwar, mengatakan, "Sangat bangga," terhadap putrinya.
"Jika pekerjaannya bermanfaat bagi masyarakat, terutama perempuan, maka saya merasa senang karenanya," tutur Tanwar.
Pada awalnya, para perempuan menghadapi keberatan dari beberapa penduduk desa yang curiga dengan apa yang terjadi di pabrik ini.
Ketika kru film tiba di desa itu, mereka terus menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh kru.
Beberapa dari mereka, antara lain Sushima Devi, yang berusia 31 tahun, masih harus menghadapi perjuangan di rumah mereka.
Ibu dari dua orang anak ini mengatakan bahwa suaminya menyetujui dirinya bekera di pabrik ini setelah ibu Sneh meminta izinnya.
Suaminya juga berkeras bahwa dia harus menuntaskan pekerjaan rumahnya terlebih dulu sebelum bekerja di pabrik.
"Jadi, aku bangun pada pukul 05.00, membersihkan rumah, mencuci pakaian, memberi makan ternak, meramu bahan bakar memasak yang dibuat dari kotoran ternak, mandi, membuat sarapan dan makan siang, sebelum saya pergi dari rumah. Sore harinya, saya langsung memasak makan malam ketika sampai di rumah," kisahnya.
Namun, suaminya masih tidak senang dengan jadwal ini.
"Dia sering kali marah kepada saya. Dia berkata, 'Pekerjaan di rumah sudah cukup, mengapa kamu kerja di luar rumah?' Tetangga saya juga mengatakan bahwa ini bukan pekerjaan yang bagus, mereka juga menyebut gaji yang saya peroleh sangat kecil," sambungnya.
Baca juga: Inilah Lima Film Berbahasa Asing yang Bertarung dalam Oscars 2019
Dua tetangga Sushima sempat bekerja di pabrik ini, tetapi memutuskan berhenti beberapa bulan kemudian.
Namun, Sushima tidak memiliki minat untuk mengikuti jejak mereka.
"Bahkan, jika suami saya menghajar saya, saya tidak akan meninggalkan pekerjaan saya. Saya menikmati bekerja di sini," ujarnya.
Dalam film dokumenter Period, Sushima menyebut bahwa dia menyisihkan uang yang dia hasilkan untuk membeli pakaian adik lelakinya.
"Jika saya tahu bahwa film ini akan ada di Oscar, saya pasti akan mengatakan sesuatu yang terdengar lebih pintar," ujarnya seraya tertawa.
Bagi Sushima, Sneh, dan rekan-rekan kerja mereka, nominasi Oscars 2019 telah menjadi dorongan besar.
Film yang tersedia di layanan streaming Netflix ini kemudian memenangi kategori Dokumenter Pendek Terbaik.
Ketika Sneh bersiap untuk pergi ke Los Angeles, tetangganya menghargai "gengsi dan ketenaran" yang ia bawa ke desanya.
"Tidak ada seorang pun dari Desa Kathikhera yang pernah bepergian ke luar negeri, jadi saya akan menjadi orang pertama yang melakukannya," katanya.
"Saya sekarang dikenal dan dihormati di desa, orang mengatakan mereka bangga pada saya," imbuhnya.
Sneh mengatakan bahwa dia mendengar tentang Oscars dan mengetahui bahwa itu merupakan penghargaan film terbesar di dunia.
Namun, dia tak pernah menonton ajang penghargaa tersebut dan, tentu saja, tidak berpikir bahwa suatu hari dia akan berada di karpet merah.
"Saya tidak pernah berpikir saya akan pergi ke Amerika. Bahkan, sekarang saya tidak bisa sepenuhnya memproses apa yang terjadi. Bagi saya, nominasi itu sendiri merupakan sebuah penghargaan. Ini merupakan mimpi yang saya impikan dengan mata terbuka," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.