Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Angga Ariestya
Dosen

PhD candidate Institute of Communication Studies & Journalism, Charles University, Praha. Dosen Komunikasi Strategis Universitas Multimedia Nusantara.

Gundala: Pertarungan Melawan Hegemoni Hollywood di Indonesia

Kompas.com - 18/09/2019, 16:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Gundala bukanlah tokoh asing bagi para pecinta komik di Indonesia. Harya Suraminata atau Hasmi merupakan komikus pencipta karakter tokoh Gundala dalam komiknya berjudul Gundala Putra Petir yang terbit pada 1969.

Munculnya komik ini dipengaruhi kemunculan komik-komik pahlawan super era sebelumnya, seperti Superman yang diperkenalkan kali pertama dalam Action Comics #1 DC Comics pada 1938.

Tiga tahun kemudian, Timely Comics yang sekarang Marvel Comics bersaing dengan memunculkan tokoh Captain America pada 1941 dalam Captain America Comics #1.

Seiring perkembangan media layar pada zaman itu, komik-komik ini menginspirasi kemajuan industri pertelevisian dan perfilman dengan tema pahlawan super.

Kemunculan awal pahlawan super dalam layar lebar diawali kesuksesan film Superman: The Movie (1978) yang berhasil memenangi Special Achievement Award dan masuk tiga nominasi 51st Academy Awards pada 1979.

Periode selanjutnya, pahlawan-pahlawan super ini silih berganti bermunculan dalam industri perfilman Hollywood dan tersebar di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Pada abad ke-21, saat revolusi digital terjadi, pahlawan-pahlawan super terus mendominasi film layar lebar maupun televisi dengan dua pemain besar, yakni DC dan Marvel.

Sudah satu dekade lebih belakangan, sejak kemunculan film Superman Returns (2006), Batman Begins (2008) yang menjadi awal trilogi film karya Christopher Nolan, The Dark Knight (2010) dan The Dark Knight Rises (2012), Incredible Hulk (2008), kemudian ada Iron Man (2008) yang menjadi pembuka Marvel Cinematic Universe (MCU), pahlawan-pahlawan super Hollywood ini kian menghegemoni masyarakat Indonesia.

Banyak fandom bermunculan dan audiens lintas generasi juga terinspirasi dari pahlawan impor Amerika ini. Kini, baru saja lahir kembali pahlawan super lokal Indonesia melalui film Gundala (2019) karya Joko Anwar setelah film Gundala Putra Petir (1981) karya Lilik Sudijo.

Film Gundala terbaru ini menandai awal kemunculan pahlawan-pahlawan super Indonesia dalam Bumilangit Cinematic Universe (BCU) alias Jagat Sinema Bumilangit (JSB). Tentu, ini membawa angin segar bagi babak baru perfilman Indonesia bertema pahlawan super.

Budaya populer dan hegemoni Hollywood

Budaya popular menurut Ariel Heryanto (2018), dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan, merujuk pada berbagai gambar, suara, dan pesan yang diproduksi massal dan komersial disertai pemaknaan terkait yang berusaha menjangkau konsumen seluas-luasnya sebagai hiburan. Budaya layar kemudian disebutnya sebagai pranata dan praktik sosial dari budaya populer.

Adapun Henry Jenkins (2006) membaginya menjadi budaya massa sebagai kategori produksi berupa gambar, suara, dan pesan yang diproduksi massal dan komersial tadi dan budaya populer sebagai kategori konsumsi oleh masyarakat, sehingga budaya populer adalah ketika material budaya massa sampai ke tangan masyarakat dan kemudian beredar di masyarakat melalui forum atau bentuk keramaian publik lainnya.

Ada dua kemungkinan film Gundala (2019) ini bermuara. Hanya akan sekadar menjadi budaya massa atau berhasil menjadi budaya populer di Indonesia melawan hegemoni pahlawan-pahlawan Hollywood yang sudah populer lebih dulu.

Miris rasanya ketika menanyakan kepada anak Indonesia siapa pahlawan super kebanggaan mereka dan dijawab dengan Captain America.

Gambaran situasi ini menjelaskan bahwa anak Indonesia justru lebih mencintai pahlawan Amerika daripada pahlawan dari bangsa mereka sendiri.

Untuk menjadikan Gundala sebagai pahlawan dan budaya populer di Indonesia perlu menerjang kokohnya paradigma yang ada dan melawan dahsyatnya hegemoni Hollywood.

Lambannya perkembangan film pahlawan super di Indonesia bisa dilihat karena pertama, budaya Indonesia terpatri menonjolkan aspek keaslian dan eksotisme budaya Indonesia sendiri.

Gundala bukan satu-satunya pahlawan super yang hadir di layar lebar Indonesia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau