Setidaknya sudah ada Rama Superman Indonesia (1974), Darna Ajaib (1980), Garuda Superhero (2015), dan Valentine: The Dark Avenger (2017).
Namun, semuanya kalah pamor dengan pahlawan-pahlawan kolosal era 1980-an seperti Saur Sepuh, Jaka Sembung, atau bahkan Wiro Sableng yang filmnya dibuat ulang pada 2018 lalu dan tetap lebih berhasil diterima masyarakat.
Meski begitu, jagoan-jagoan kolosal ini ternyata belum mampu menandingi hegemoni pahlawan-pahlawan super Hollywood, sampai dengan era milenial saat ini.
Kedua, kegagalan yang dialami pahlawan super Indonesia tidaklah mengherankan selama masih ada pandangan bahwa budaya populer Indonesia hanyalah merupakan tiruan buruk dan selera rendah budaya populer Barat.
Sebab, dekatnya hubungan antara budaya populer di Indonesia dengan industri hiburan yang hanya mengejar laba sebesar-besarnya.
Berdasarkan data boxofficemojo.com, salah satu film MCU, Avengers: Endgame (2019) menjadi film Hollywood terlaris sepanjang masa dengan menghasilkan pendapatan sebesar 2,796 miliar AS dolar atau Rp 39,3 triliun pada 2019.
Film Gundala yang sedang tayang saat ini dianggap sebagai tiruan pahlawan super Hollywood karena mengikuti tren pasar Hollywood.
Gundala digadang-gadang sebagai tiruan dari The Flash ataupun Thor karena sama-sama memiliki kekuatan super yang bersumber dari petir. Padahal, Gundala memiliki suatu pembeda.
Gundala bukanlah Barry Allen yang tersambar petir akibat ledakan partikel akselerator STAR Labs ataupun Dewa Petir yang memiliki palu Mjolnir seperti Thor.
Menurut komikus pencipta karakter Gundala, Hasmi terinspirasi oleh Ki Ageng Sela yang merupakan leluhur raja-raja Mataram, yang konon dikisahkan bisa menangkap petir.
Hollywood sentris inilah yang membuat standar film pahlawan super yang bermutu adalah versi Hollywood.
Masyarakat Indonesia berbondong-bondong menilai film pahlawan super Indonesia dengan standar Hollywood.
Ketiga, Indonesia sampai detik ini masih berkutat dengan nation-state building dan hambatannya. Pembahasan yang beredar di masyarakat adalah kondisi perekonomian dan politik yang baik atau buruk pascaorde lama, orde baru, dan reformasi.
Tidak mengherankan jika film-film bertemakan sejarah perjuangan bangsa, sejarah rezim pemerintahan, atau pun film biopic tentang tokoh sejarah tertentu lebih diterima dalam masyarakat daripada film-film pahlawan super Indonesia.
Adapun Hollywood berhasil mengisi kekosongan ini dengan menawarkan ragam budaya populer mereka yang menyajikan teknologi dan masa depan dalam film-filmnya.
Menonton film Gundala (2019) seperti layaknya memandang Indonesia dalam layar lebar. Kearifan lokal yang termuat di dalamnya merupakan refleksi permasalahan bangsa yang sangat dekat dengan masalah rakyat saat ini.
Ada empat ideologi utama menurut Ariel Heryanto (2008) yang dibingkai dalam produksi dan konsumsi terhadap budaya populer di Indonesia, yaitu Jawa-isme, Islam, Liberalisme, dan Marxisme.
Di film Gundala baru ini, praktis hanya ideologi Islam yang tidak mewarnai cerita dalam film. Jawa-isme jelas menjadi ruh dalam film ini melalui beberapa karakter tokoh, bahasa, dan dialog yang merujuk pada budaya Jawa Kuno.