Sementara itu, isu ideologis liberalisme dan marxisme terpampang nyata melalui konflik tentang ekonomi buruh-majikan dan praktik demokrasi deliberatif dalam wujud hubungan elite-rakyat yang akhirnya mengerucut pada persoalan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan.
Isu sentral dalam film Gundala berbeda dengan film-film pahlawan super versi DC atau pun Marvel.
Dalam film-film DC dan Marvel, isu sentral bergerak ke arah science-fiction (sci-fi), yang dikedepankan adalah national security dan invasi alien atau mahluk asing.
Konsentrasi isu yang berbeda ini dapat menjadi kekuatan dalam melawan hegemoni budaya global dalam semangat glokalisasi.
Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Roland Robertson (2001) yang berarti sesuatu yang global diinterpretasikan dengan nilai lokal atau yang dipopulerkan oleh Jan Nederveen Pieterse (2004), think globally act locally.
Di tengah masyarakat dunia yang berkembang lebih pluralis, para individu dan semua kelompok lokal memiliki kekuatan yang luar biasa untuk beradaptasi, berinovasi, dan bermanuver di dalam sebuah dunia yang mengalami glokalisasi.
Komoditas media tidak dipandang koersif, namun justru menyediakan materi untuk dimanfaatkan individu atau kelompok masyarakat.
Dalam konteks ini, budaya populer yang dibawa oleh Hollywood seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan budaya populer Indonesia, bukan malah sebaliknya.
Muatan budaya global yang masuk ke Indonesia harus menjadi modal yang baik dalam menciptakan budaya populer versi Indonesia di kalangan masyarakat yang mengikuti perkembangan zaman.
Tentu, hal ini menuntut adanya perkembangan teknologi media dan didukung dengan kemampuan teknis yang baik. Namun, jangan sampai juga standar kemampuan teknis yang baik tersebut adalah Hollywood dan mengesampingkan potensi budaya lokal.
Lihat contoh Jepang ketika demam Avengers: Endgame (2019) melanda, film anime Jepang Detective Conan: The Fist of Blue Sapphire (2019), yang merupakan budaya populer Jepang, justru merajai yearly box office selama tiga minggu dengan pendapatan yang menyentuh angka 81 juta dolar AS atau Rp 1,1 triliun, lebih tinggi dari pendapatan Avengers: Endgame sebesar 54 juta dolar AS atau Rp 759 miliar di Jepang.
Dapat disimpulkan, Detektif Conan dengan animenya masih lebih digemari masyarakat Jepang ketimbang The Avengers.
Film Gundala telah memiliki dua modal penting, yakni teknis dan historis. Secara teknis, plot cerita, karakter tokoh, aksi laga, dan efek audio visual ditambah dengan penjelasan logis dalam film merupakan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh film itu, meskipun harus diakui masih ada yang perlu ditingkatkan.
Secara historis, tokoh Gundala sebagai pahlawan super sudah bersemayam di hati masyarakat Indonesia sehingga lebih mudah untuk memperkenalkannya kembali kepada masyarakat.
Di era masyarakat berjejaring seperti saat ini, budaya partisipatif masyarakatlah yang dapat menentukan apakah Gundala akhirnya dapat menjadi kontra hegemoni dengan menjadi pahlawan super yang populer di Indonesia, atau justru semakin tenggelam dalam hegemoni pahlawan super Amerika sehingga menarik dinantikan kiprah pahlawan-pahlawan super Bumilangit Cinematic Universe (BCU) dalam pertarungan berikutnya.
Budaya partisipatif tersebut dapat terlihat dari bagaimana meriahnya diskusi dalam forum-forum online maupun offline, seberapa banyak komunitas dari fandom yang terbentuk, dan seberapa pesat narasi maupun peran yang dikembangkan oleh fandom-fandom di masyarakat Indonesia tentang pahlawan-pahlawan super mereka.
Melihat perkembangan dunia yang begitu pesat, sudah saatnya sekarang pahlawan super Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.