KETIKA produser Shanty Harmayn mengajukan kumpulan cerita pendek "Home Remedies" karya Xuan Juliana Wang, saya langsung mengecek nama asing itu.
Di dalam lemari saya tentu saja banyak sekali karya sastrawan Tionghoa dari daratan seperti Yu Hua (yang sudah diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka Utama), Su Tong, Yu Hua dan Mo Yan (peraih Hadiah Nobel Sastra 2012).
Demikian juga karya-karya penulis Tionghoa diaspora yang menetap di Amerika Serikat dan menulis dalam bahasa Inggris, seperti Amy Tan, Anchee Min, dan Ha Jin.
Nama Xuan Juliana Wang masih sangat baru dan segar. Lahir di Heilongjiang, China, tahun 1985, keluarga Wang migrasi ke Los Angeles ketika Juliana berusia tujuh tahun.
Jika sastrawan Ha Jin adalah seorang eksil yang kini menetap di AS, Amy Tan adalah generasi kedua yang orangtuanya migran ke AS dan Xuan Juliana adalah generasi ketiga migran yang karya-karyanya mulai jauh dari politik dan kekerasan.
Jika karya-karya Ha Jin dan Anchee Min hampir selalu memiliki latar belakang sejarah dan politik, Amy Tan selalu menceritakan hubungan antara ibu dan anak hingga tiga generasi, maka Xuan Juliana Wang memang bisa dikatakan sebagai "penulis generasi milenial".
Tetapi ini bukan hanya sebutan yang digunakan berbagai media yang memujinya ini--termasuk The New York Times Book Review yang menyatakan dia penulis "tough and luminous".
Sebagian besar kritikus sastra melihat, merasakan dan membaca sebuah berlian baru di dunia sastra.
Kata "milenial" di sini bukan sekadar menunjukkan usianya yang masih belia dan bukan saja karena Xuan Juliana adalah generasi ketiga migran Tionghoa di AS, melainkan betapa dia bisa memasukkan aspek kehidupan masa kini (internet, social media, dan seterusnya) yang tak tersentuh penulis terdahulu.
Antologi cerita pendeknya yang terdiri dari 12 kisah, terbagi tiga tema: Keluarga, Cinta, Waktu dan Ruang.
Xuan Juliana, seperti juga para penulis cerita pendek lainnya, memperlakukan cerpen ini sebagai kisah "a slice of life", yakni sebuah narasi keseharian dalam fiksi, teater atau film yang digambarkan dengan gaya realistik.
Itu salah satu hal, yang menurut Shanty Harmayn dalam acara podcast ini, mengapa antologi ini menarik perhatiannya.
Tentu saja bukan sekadar kisah "slice of life" itu yang membuat kumpulan cerpen ini layak dibaca, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (wahai penerbit), tetapi karena Xuan Juliana berhasil memukau kita.
Bahasanya yang lentur dan puitis, ritmenya sesuai karakter cerita dan plot yang hampir selalu memberi daya kejut.
Di dalam podcast ini, kami sama-sama kagum terutama pada tiga ceritanya "Vaulting the Sea" (yang terbaik dari 12 cerpen antologi ini) yang berkisah tentang persahabatan dua remaja lelaki Taoyu dan Hai, dua atlet penyelam (synchronised divers).
Ini sebuah kisah coming of age yang dikisahkan denga puitis. Kata-kata yang terjalin menjadi kalimat seolah seperti air yang mengalir; ini salah satu kalimatnya: "Nothing else existed from the moment Taouyu reached the the edge of the board to the moment he ripped into the water." (hal.110).
Kita mengikuti persahabatan, pencapaian, cinta yang merana dari kedua remaja ini sekaligus akhir yang sungguh mengejutkan dan menyedihkan.
Adapun cerpen seperti "Fuerdai to the Max" disajikan dengan ritme yang lebih lincah dengan plot yang penuh suspens, sebuah kisah sekumpulan anak-anak orang superkaya yang bertingkah dan merasa berhak memperoleh segala yang mereka inginkan.
Cerpen inilah yang kemudian membuat kita membayangkan beginilah anak-anak orang superkaya di setiap negara, apakah China, Indonesia atau Amerika, bukan hanya manja dan bergelimang duit yang tak habis-abis, tetapi juga persoalan adalah entitlement, merasa berhak mendapatkan apa saja yang mereka inginkan.
Adalah cerpen semacam "Echo of the Moment" dan "The Strawbery Years" yang membuat Xuan Juliana berbeda dengan para pendahulunya.
Di dalam kedua cerita ini, social media sangat berperan dalam kehidupan tokoh-tokoh utamanya, bukan sekadar hiasan atau tempelan, melainkan menjadi penggerak cerita.
Di dalam "Echo of the Moment", seorang gadis Amerika-Tionghoa bernama Echo yang menetap di Paris memperoleh tawaran untuk mengambil setumpuk pakaian seorang selebritas Korea yang bunuh diri.
Meski semula Echo agak merasa aneh, tetapi keajaiban terjadi. Begitu dia mengenakan baju-baju sang selebritas, tiba-tiba Echo merasa dirinya berbeda, bukan saja secara fisik, melainkan juga merasa lebih punya daya.
Ada sesuatu dalam dirinya yang lahir dan membuatnya lebih percaya diri ketika berjalan di jalan-jalan Paris dengan pakaian sang selebritas, hingga akhirnya para fotografer mengejar-ngejarnya dan memotretnya hampir setiap hari karena keunikan penampilannya.
Kepopuleran instan dan absurditas social media yang mendikte "mereka yang follower-nya terbanyak" adalah mereka yang layak didengarkan, ditonton dan dilimpahkan duit diramu dalam cerita yang jauh dari khotbah.
Cerita-cerita yang mengawinkan media sosial dan internet sebagai bagian dari kehidupan kita di belahan dunia manapun--lengkap dengan "aturan tak tertulis" yang lantas mendikte roda ekonomi--adalah bagian kecerdasan Xan Juliana yang belum sepat dijelajahi para seniornya yang masih berpegang pada periode analog.
Xuan Juliana Wang, seperti juga berbagai penulis muda yang wajib diperhatikan di Indonesia: Felix K Nessi, Pratiwi Juliani, Raka Ibrahim, adalah harapan baru bahwa sastra akan terus dirawat, bahwa kata-kata yang dijalin dengan tepat dan berdaya akan menjadi karya yang bersinar.
Podcast "Coming Home with Leila Chudori" episode Shanty Harmayn bisa ditemukan di Spotify atau tautan ini mulai Rabu (6/5/2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.