Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Mengapa Kita Tetap Butuh Toko Buku?

Kompas.com - 14/04/2021, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Maka dengan sendirinya, setelah dewasa, setelah reformasi, toko buku besar impor seperti Kinokuniya, Aksara, QB maupun toko buku lokal seperti Gramedia dan buku independen seperti Post Santa dan Transit di Pasar Santa menjadi bagian dari titik perhentian setiap kunjungan pencarian buku.

Tentu saja toko buku di Jakarta, atau kota-kota lainnya, belum menyediakan atmofir yang ideal seperti katakanlah toko-toko buku di negara Barat yang menyediakan sofa atau kursi-kursi di mana kita bisa tetap duduk, memilih buku, bahkan memesan kopi dari kafe di pojok, sembari merasa aman, nyaman dan terlindungi dari keriuhan dan pragmatisme di luar tokomu.

Suasana di toko buku semacam The Elliot Bay Book Company di Seattle, yang menjadi satu toko buku independen yang memiliki sosok Rick Simonson sebagai kurator yang mengundang begitu banyak penulis terkemuka seperti Kazuo Ishiguro, Arundhati Roy dan Michael Ondaatje; atau rasa harum buku dan sejarah panjang Shakespeare & Co di Paris; atau rasa rumahan Toko Buku Wild Detectives di Dallas karena pemiliknya adalah fans novel "The Savage Detectives" karya Roberto Bolaño masih cita-cita panjang para pecinta buku Indonesia.

Toko Buku Wild Detectives kurang lebih mengingatkan saya pada suasana di toko buku dan kafe Kineruku di Bandung.

Lalu apa penyebab beberapa toko buku tutup, selain ekonomi yang memang melorot di masa pandemi? Menurut Steven Sitongan yang sehari-hari mengelola toko buku Ksatria Buku di Ambon, "Salah satunya tentu saja penyewaan space yang mahal. Ditambah lagi karena pandemi yang menyebabkan pengunjung jadi khawatir untuk datang dan berkerumun."

Steven mengaku selama pandemi, dia juga banyak melayani keinginan pembaca melalui online dan buku dikirim ke alamat pembeli. "Toko Buku tetap buka, tetapi pengunjung tentu saja berkurang," katanya.

Tetapi seperti dikatakan Hertoto, kalaupun tak ada pandemi, dia merasa toko buku di Jakarta, tidak terlalu penuh sebagaimana pembeli yang antre seperti ular di Kinokuniya Singapura dan Bangkok. "Di sana kita harus sampai bersenggolan dengan calon pembeli lainnya."

Dan, tentu saja kami berempat saling berdebat masalah mengapa toko buku harus hilang satu per satu.

Meski debat kami terasa seperti gurauan di warung kopi virtual karena kami melakukannya antar 4 kota, 3 negara, namun ternyata kami mempunyai cita-cita yang sama: membangun sebuah toko buku kecil.

Steven Sitongan, yang paling muda dan milenial di antara kami langsung mewujudkan cita-citanya.

Adapun tiga lainnya kebanyakan "perhitungan". Rane Hafied, misalnya, seorang kreator konten di agensi iklan Bangkok mengaku sibuk bekerja, sehingga cita-citanya mendirikan buku masih berupa impian.

"Saya ingin sekali membuat toko buku yang berisi buku-buku anak-anak yang membesarkan generasi saya, macam karya Laura Ingalls Wilder, Winnetou, dan seterusnya," kata Hafied.

Hertoto Eko, seorang Konsultan IT berbasis di Singapura, memilih mendirikan toko buku yang seperti butik, "Hanya buku alternatif dan kecil saja".

Saya sendiri punya cita-cita ingin membangun toko buku kecil dan stationery serta mengadakan program diskusi sastra dan pemutaran film.

Satu-satunya yang sudah menjalankan cita-cita asyik ini hanyalah Steven yang mengingatkan bahwa langkah pertama bagi kami yang mundur-maju dalam mewujudkan cita-cita ini adalah: pikirkan lima judul pertama buku-buku yang menurut kalian harus dibaca masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com