Itu pula bahasa dan diksi yang digunakan oleh para tokoh dalam rangka "memanipulasi" tokoh utama agar mereka bisa menerima pembantaian yang dialami saudara atau kawan sendiri.
Misalnya, cerpen "Pada Titik Kulminasi" karya Satyagraha Hoerip yang bercerita seorang lelaki yang bertugas "menyerahkan" iparnya untuk dibantai karena "berada di pihak musuh".
Dalam cerita itu, setelah didesak kawannya, tokoh "Aku" mencoba membuat justifikasi dengan analogi Arjuna yang gundah menjelang perang Bharatayudha karena harus melawan sepupu, para tetua Hastina dan gurunya sendiri.
Logika menghadapi kegalauan "intelektual" itu pada akhirnya sama seperti logika diksi yang digunakan di masa itu, di mana "lawan" mereka adalah "kambing binal yang perlu disembelih", atau "gorok, cincang, bakar".
Menurut Robertus Robet, teknik "menghapus nama dan menghilangkan individualitas" itu adalah cara efektif Orde Baru untuk memburu siapa saja yang dianggap musuh.
Karena itu, histeria kekerasan yang kemudian menggunakan istilah sembelih, gorok,cincang atau bakar itu menjadi kosakata yang populer dalam keseharian tahun 1966, dan menjadi bagian dari diksi para penulis di masa itu.
Diskusi yang sekaligus membuka bulan September ini Anda bisa dengarkan di Spotify Leila S Chudori di sini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.