Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merekam Sejarah yang Mulai Terkikis dari Pulau Buru

Kompas.com - 18/03/2016, 10:40 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Pemutaran film dokumenter berjudul Pulau Buru Tanah Air Beta, yang sedianya akan diadakan di Goethe Haus Jakarta, dibatalkan oleh polisi atas alasan keamanan setelah muncul ancaman protes dari sebuah organisasi massa (ormas) pada Rabu (16/3/2016).

Pemutaran film itu tetap diadakan, tetapi dipindah ke gedung Komnas HAM, Jakarta.

Pulau Buru Tanah Air Beta mengisahkan dua mantan tahanan politik (tapol) yang pernah dikirim ke Pulau Buru, Maluku, yaitu Hersri Setiawan dan Tedjabayu Sudjojono.

Untuk film tersebut, mereka kembali ke pulau tempat masa tergelap kehidupan mereka itu.

Hersri kembali ke sana bersama anak perempuan dan istrinya untuk menunjukkan tempat-tempat ketika ia berdiam selama sembilan tahun, dari 1969 sampai 1978.

Film dokumentar tersebut disutradarai oleh Rahung Nasution.

Film itu sesekali menggunakan puisi-puisi Hersri untuk memberi warna pada adegan-adegan yang sebenarnya monoton.

Dalam film tersebut, Hersri memang bertemu dengan para mantan tapol yang masih tinggal di sana, meski tak banyak dialog yang terjadi antar mereka.

Mungkin mereka sudah terlalu tua sehingga sudah sulit mendengar satu sama lain.

Atau, mungkin juga, karena film itu memang kurang banyak menampilkan adegan percakapan antar tapol.

Namun, dari film tersebut terlihat bahwa tak banyak lagi peninggalan dari masa tapol di Pulau Buru.

Paling tidak, begitulah penangkapan penulis artikel ini, wartawan BBC Indonesia Isyana Artharini.

Monumen yang tersisa
Salah satu tempat yang dikunjungi oleh Hersri dan Tedjabayu adalah gedung kesenian di desa Savanajaya, yang dulu mereka bangun, meski gedung itu kini sudah menjadi bangunan permanen, berbeda dari yang dulu mereka dirikan.

Terhadap pentingnya adegan ini, Rahung mengatakan, "Tempat itu kan satu-satunya monumen di Pulau Buru yang sekarang kita bisa lihat bahwa di situ pernah ada tragedi kemanusiaan."

"Dulu ruang itu adalah tempat pertunjukan kesenian yang mereka bangun dari kayu, yang artistik menurut mereka, dibangun dengan cara seperti itu. Sekarang (menjadi) tempat yang asal-asalan, dibeton, dan semua seakan jejak-jejak mereka dihilangkan," tambahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com