Saya pernah menulis begini di status facebook saya: Bagiku, musik dan sastra hanyalah alat untuk menegakkan kemanusiaan. Jika keduanya justru menjauhkan diriku dari kemanusiaan, maka tak segan keduanya aku tinggalkan.
Musik dan sastra memang bagian penting dalam hidup saya. Dua hal itulah yang selama ini memberi energi besar bagi kehidupan saya. Lantaran sastra, saya bisa menulis puisi, cerpen, novel, dan berita. Karena sastra inilah tungku di rumah saya bisa menyala, anak-anak dengan baik bisa saya sekolahkan, ada rumah untuk berteduh, dan ada perlengkapan lain untuk menunjang kehidupan saya sebagai manusia.
Gara-gara musik, saya bisa bernyanyi menghibur diri dan orang lain. Bisa berkeliling indonesia dan beberapa.negara manca. Sedemikian pentingnya musik dan sastra bagi saya. Tapi sekali lagi, jika keduanya menjauhkan saya dari kemanusiaan, saya akan "tega" meninggalkan keduanya.
Pernyataan saya di atas, sebetulnya bermula dari rasa prihatin saya kepada kawan-kawan sesama seniman yang saling menghujat dan mencaci di antara mereka sendiri. Masing-masing menganggap dirinya benar dan yang lain salah dan patut untuk dihabisi.
Saya kemudian bertanya kepada diri saya sendiri, bukankah seniman seharusnya memiliki keluasan hati dan perasaan welas asih sebagaimana yang nampak pada sentuhan karya-karya mereka, sebuah persentuhan ruhani yang berasal dari hati tempat di mana Yang Maha Baik bermukim?
Tidak dulu tidak sekarang, dunia kesenian adalah sebuah ambigu yang tak berkesudahan. Malaikat dan setan bersemayan di dalamnya. Kebaikan dan kejahatan muncul bergantian. Dan saya belajar, menyimak serta menjawab atasnya.
Tentu saja, kondisi yang berlangsung di dunia kesenian berlangsung pula pada kehidupan sehari-sehari bangsa ini. Hari ini, bangsa ini kian terbelah dalam pusaran konflik yang membingungkan lantaran tak jelas mana ujung pangkalnya. Kita pun terjebak dalam syak wasangka, fitnah, ketidakpercayaan, dan permusuhan secara terang-terangan melalui media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang saya kerjakan inilah jawabannya. Sebuah kesenian yang tak cuma menghamba kepada keindahan, tapi juga memuja kemanusiaan.
Bagi saya, kemanusiaan adalah kasih sayang, sebagaimana orang tua kita melahirkan, merawat dan membesarkan kita dengan penuh cinta. Sebab bukankah memang demikian awal kejadian manusia? Bermula dari pertemuan kasih sayang ayah dan ibu kita?
Jadi, jika kesenian dan sastra yg saya geluti sudah jauh dari kasih dan sayang, buat apa saya pertahankan? Barangkali saya akan memilih menjalani kehidupan sebagai tengkulak, calo, atau kalau tenaga saya masih kuat menjadi petarung jalanan; yang cuma memikirkan keuntungan dan kemenangan saja.
Mulut saya tidak akan berbuih-buih menyebarkan virus kebaikan lewat nyanyian tentang Tuhan, semesta dan manusia. Tangan saya juga tidak akan saya pergunakan untuk menulis puisi dan prosa. Saya akan lebih banyak diam dan mengamati gerak-gerik serta kelemahan orang lain untuk saya "sikat" dan tindas demi kejayaan saya.
Saya mungkin juga akan membangun sebuah organisasi massa yang besar. Akan saya akali orang-orang di sekitar saya dengan siasat yang brilian, kalau perlu menggunakan simbol-simbol keagamaan yang membuat penguasa bahkan miris jika hendak memberangusnya.
Tapi syukurlah, ternyata hidup saya adalah ujud dari keinginan-keinginan saya. Saya menginginkan hidup yang dipenuhi oleh keindahan berupa puisi, nyanyian, dan kawan-kawan yang hebat. Maka Tuhan pun memberikannya kepada saya. Saya pun bernyanyi tentang angin, hutan, gunung, lautan, cinta dan kemanusiaan. Saya pun menulis yang baik-baik tentang hidup untuk menyemangati diri saya dan juga orang lain. Bagi saya, hidup sekali harus berarti!
@JodhiY
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.