Di suatu hari antara 1996 atau 1997, Hanung Bramantyo muda mengendarai motornya ke rumah Pramoedya Ananta Toer di Bojong Gede dari Jakarta.
Kala itu, Hanung tengah menjalani ujian tengah semester di semester III Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia berniat untuk memfilmkan Nyai Ontosoroh, tokoh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Hanung terpikat dengan sosok Ontosoroh, seorang "simpanan" orang Belanda dan pengajar yang cerdas dan tegar.
Sesampainya di rumah Pram, Hanung disambut ramah.
Ia berpindah dari kursi di hadapan Pram ke sebelahnya. Pram beralasan pendengarannya rusak karena dihajar tentara.
Di samping telinga Pram, Hanung mengutarakan keinginannya memfilmkan sosok Nyai Ontosoroh untuk ujiannya.
Sayangnya, permintaan Hanung langsung ditolak. Pram berujar, "Film ini ditawar Oliver Stone 60 ribu dollar saya tidak kasih."
Hanung seperti diminta membeli hak untuk adaptasi sosok Nyai Ontosoroh.
"Sorry banget ya Bung, bukannya saya materialistis, tapi saya hidup dari novel. Cuma ini yang saya jadikan pegangan hidup saya untuk keluarga dan saya sendiri," kata Hanung menirukan omongan Pram saat itu, kepada Kompas.com.
Dengan hati ciut, Hanung pulang ke Jakarta. Ia sedih, namun juga tak bisa menyalahkan Pram atas alasan yang ada benarnya itu.
Namun siapa sangka, dua dekade kemudian, Hanung menjadi sutradara besar dan mendapat kehormatan mengantarkan Bumi Manusia ke layar lebar.
"Bumi Manusia ini bukan pekerjaan buat saya. Ini ibadah," kata Hanung.
Ia mencurahkan jiwanya untuk Bumi Manusia. Tak peduli jika dianggap merusak novelnya.
"Kalau ada yang bilang Hanung mengkomersialisasikan sastra, ketemu lah saya di Bojong dengan Pak Pram," kata Hanung berkelakar.
Bumi Manusia adalah novel pertama dari tetralogi karya Pram. Tiga novel berikutnya adalah Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Keinginan untuk memfilmkan Bumi Manusia sudah muncul di awal era reformasi. Bumi Manusia dari tetralogi Buru adalah novel Pram yang terbesar.
Novel itu ditulis dengan penuh perjuangan ketika Pram dipenjara oleh Orde Baru di Pulau Buru sekitar tahun 1969-1979.
Baca juga: Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia, Perlawanan dari Dalam Penjara
Setelah bebas dan Orde Baru lengser, Pram mendapat berbagai tawaran kontrak atas hak memfilmkan Bumi Manusia, termasuk dari Oliver Stone.
Konon, Stone batal membuat film itu lantaran gagal menemukan pemain, terutama untuk tokoh Annelies.
Pilihan Pram pun akhirnya jatuh pada Hatoek Soebroto, pemilik rumah produksi Elang Perkasa Film.