Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Film Bumi Manusia, 20 Tahun Lalu Pramoedya Ananta Toer Tolak Hanung Bramantyo

Kompas.com - 14/08/2019, 06:00 WIB
Nibras Nada Nailufar,
Heru Margianto

Tim Redaksi

"Itu memudahkan kami untuk mengupas, beda dengan novelis sekarang, mereka itu curhat, udah curhat yang baca banyak. Itu yang membuat ketika diadaptasi ke film kita kesulitan," kata Hanung.

Begitu pula dengan pemilihan pemain. Sekitar 60 persen pemain di Bumi Manusia adalah keturunan Belanda.

Yang mengejutkan, mereka sudah membaca Bumi Manusia di sekolah.

Kesulitannya, kata Hanung, justru ada di pemeran lokal.

 

Bumi Manusia yang berlatar kehidupan di tahun 1898 hingga 1918 ini diperankan oleh mereka yang saat ini terbilang masih remaja.

"Karena mereka ini hidup di era milenial yang serba enak. Sekarang mereka harus memainkan drama di mana dia harus jadi tamu di negerinya sendiri," ujar Hanung.

Soal pemilihan aktor, Falcon Pictures termasuk Hanung sempat ditentang habis-habisan karena memilih Iqbaal Ramadhan. Hanung mengaku, pada awalnya ia sendiri meragukan sosok Iqbaal.

"Saya sama lah kayak kalian semua. Oh come on, Dilan main jadi Minke? Come on," kata Hanung.

Namun ketika menonton Dilan, Hanung cukup terkesan dengan Iqbaal. Pasalnya, Iqbaal mampu mengucapkan rayuan gombal tanpa terkesan picisan.

Keterpukauannya makin bertambah ketika ia tahu Iqbaal pernah meresensi novel Bumi Manusia saat bersekolah di Kanada. Ia pun langsung sepakat Minke diperankan Dilan.

"Setelah dari Dilan dia ada peningkatan di sini. Bagus atau tidak itu relatif. Saya memberikan ruang anak itu untuk tumbuh," ujar Hanung.

Hanung tak peduli jika filmnya dianggap tak sesuai dengan buku maupun latar waktu dan tempat. Yang terpenting, kata Hanung, membuat anak-anak sekarang menikmati karya Pram.

"Ketika saya buat Bumi Manusia, yang membuat rileks adalah saya tidak akan mengejar pujian sesuai pembaca novelnya. Sorry banget, saya enggak mau jadi itu. Itu bikin saya stres," kata dia.

"Yang saya kejar adalah saya harus melihat bahwa karya Pak Pram yang saya baca sembunyi-sembunyi saat itu harus dibaca dengan perasaan gembira oleh anak-anak ini. That's it. Sisanya itu urusan Tuhan," lanjut dia.

Di zaman Orde Baru, karya-karya Pram dilarang beredar. Mereka yang ingin menikmati buku-buku Pram harus melakukannya sembunyi-sembunyi.

Saat peluncuran poster Bumi Manusia di Jakarta pada 19 Juni 2019 lalu, Hanung sampai menangis sesenggukan melihat para remaja bersorak gembira.

Kepada mereka, Hanung bercerita ketika SMA, ia membaca Bumi Manusia sembunyi-sembunyi takut ditangkap polisi.

Ia bersyukur betapa hari ini karya Pram masih bisa hidup, bahkan dirayakan oleh generasi muda.

"Kalau Pak Pram di sini, nangis dia. Dia kan menulis dari bungkus rokok di penjara dan diselundupkan naskah itu. Makanya kalau sekarang dirayakan mungkin memang jalannya Tuhan seperti itu," tutup Hanung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau