Dua tahun sebelum meninggal di 2006, Pram menandatangani kontrak dengan Hatoek.
Hatoek kemudian mengajak Leo Sutanto, pemilik Sinemart untuk menggarap film yang diperkirakan bakal memakan biaya besar ini.
Awalnya, Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto yang ditunjuk untuk menggarap produksi film Bumi Manusia.
Namun entah bagaimana, nasib film Bumi Manusia dari Elang Perkasa-Sinemart hilang begitu saja.
Hingga akhirnya pada 2007 muncul kabar film Bumi Manusia akan difilmkan oleh Garin Nugroho dengan penulis skenario Armantono.
Sayangnya, ketika proses persiapan sudah mencapai 80 persen, Garin mundur lantaran Bumi Manusia tak bisa difilmkan sesuai visinya.
Sekitar 2008, Hanung yang kala itu tengah mendulang sukses dari Ayat-ayat Cinta sempat ditawari menyutradarai Bumi Manusia oleh Hatoek dengan Deddy Mizwar sebagai produser.
Hanung saat itu langsung menerima tawaran, bahkan rela tak dibayar.
Sayangnya, keberuntungan belum berpihak pada Hanung. Film Bumi Manusia kembali diambil alih oleh Mira Lesmana.
Sejak 2010 hingga 2012, Mira menyiapkan produksi film. Mulai dari mencari pemain, lokasi, riset, hingga pendanaan.
Usaha Mira tak berhasil. Ia kekurangan dana dan tak kunjung mendapatkan investor.
Hingga akhirnya pada 2014, rumah produksi Falcon Pictures membeli hak adaptasi Bumi Manusia dan karya Pram lainnya, yakni Perburuan.
Produser Falcon, HB Naveen, menunjuk Anggy Umbara untuk menyutradari Bumi Manusia.
"Officially saya pegang (film) Gundala, tiba-tiba di perjalanan kontrak dengan Falcon membuat Jomblo, Benyamin, dan lainnya, lalu Pak Naveen tanya mau enggak garap (adaptasi) Harimau Harimau karyanya Mochtar Lubis, saya bilang mau. Waktu itu bercandanya saya sutradarai novelnya rivalnya Pak Pram (Lekra) yaitu Manikebu (Mochtar Lubis)," ujar Hanung.
Entah karena keberuntungan atau memang sudah takdirnya, Hanung sekali lagi ditawari menjadi sutradara Bumi Manusia. Ia langsung mengiyakan tawaran itu tanpa berpikir dua kali.
Hanung mengaku tak ada kesulitan sama sekali dalam mengadaptasi novel Bumi Manusia menjadi adegan film.
Perjalanan Minke dalam permerintahan kolonial Belanda digambarkan dengan apik oleh Pram.
"Pak Pram itu saya enggak tahu belajar dari mana jadi penulis, saya baca Bumi Manusia ternyata Pak Pram menggunakan struktur tiga babak, yang digunakan seluruh dunia," kata Hanung.
Hanung tak perlu merombak struktur cerita maupun alurnya. Pram, kata dia, seolah-olah sudah merancang Bumi Manusia untuk diadaptasi ke bentuk lainnya.
Kata Hanung, inilah kehebatan Pram yang membuat novel-novelnya menjadi mahakarya klasik.