JAKARTA, KOMPAS.com - Sedikit sineas yang melihat film sebagai suatu hal yang sakral, dan ruang putar sebagai tempat yang suci ibarat kuil. Banyaknya, film dilihat sebatas hiburan, dan ruang putar dilihat sebagai wahana eskapisme. Dari sanalah film mendapat tuntutan untuk menghibur. Sedangkan film-film yang dianggap "berat" kerap dihindari.
Dalam dunia yang demokratis ini, tentunya itu sah-sah saja. Akan tetapi, jelas dibutuhkan juga sineas yang melihat film dari perspektif yang lain. Sebab, mengingat potensinya yang besar, teramat sayang bila film hanya diposisikan sebagai pelarian semata.
Beruntung kemudian Indonesia memiliki sineas seperti Yosep Anggi Noen. Anggi, begitu ia disapa, adalah satu dari sedikit sineas Tanah Air yang tidak melihat film sebagai sekadar hiburan. Sejak 2000-an, bersama dengan kawan-kawan Limaenam Films, pria kelahiran 15 Maret 1983 ini konsisten membuat film-film yang sarat dengan muatan sosial.
"... itu tanggung jawab seniman film. Tidak hanya memanfaatkan kemampuan dia untuk sekadar membuat sesuatu yang dangkal. Harus ada kegelisahan yang ditangkap. Dengan begitu, puluhan tahun lagi orang bisa melihat bagaimana kehidupan manusia pada masa itu, dan kegelisahan apa yang hidup pada diri manusia-manusia tersebut," ucap Anggi saat penulis temui di Jakarta, seminggu menjelang pemutaran perdana Istirahatlah Kata-Kata di Locarno.
Untuk film panjang, Anggi telah memproduksi dua film: Istirahatlah Kata-Kata dan Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya. Kedua film tersebut ikut serta dalam seksi kompetisi Concorso Cineasti Del Presente (Filmmakers of the Present) di Locarno —Vakansi pada 2012 sedangkan Istirahatlah Kata-Kata pada 2016.
Sementara untuk film pendek, beberapa judul yang terakhir ia buat, antara lain: Rumah (2015), Kisah Cinta yang Asu (2015), Genre Sub Genre (2014), dan Laddy Caddy Who Never Saw a Hole in One (2014).
Sebagai suatu hal yang paling aktual, film terbaru dari Anggi —Istirahatlah Kata-Kata— merupakan yang pertama penulis tanyakan. Film tersebut adalah kerja kolaborasinya dengan berbagai lembaga, seperti Muara Foundation, Partisipasi Indonesia, dan Kawankawan Films. Yang memerankan Wiji Thukul, Gunawan Maryanto, juga merupakan sosok dari kelompok Teater Garasi.
Dalam Istirahatlah Kata-Kata, Anggi mengambil latar waktu 1996. Itu adalah masa ketika Wiji Thukul mengasingkan diri ke Kalimantan —untuk menghindari aparat yang mencarinya.
Kepergian Wiji Thukul ke Kalimantan, serta pengetahuan umum kita ihwal menghilangnya Wiji Thukul pada 1998, menyimpan banyak arti untuk negeri ini. Paling mudah, kita bisa melihat besarnya tekanan rezim Orde Baru terhadap suara-suara yang berlawanan.
"Sekalipun nantinya ada pernyataan terkait keberadaannya (Wiji Thukul) —dalam bentuk apapun— kita tetap harus terus bertanya, di mana ia ditemukan? Kenapa ia dihilangkan? Siapa yang menghilangkan? Dari situ, film ini tetap akan relevan. Tujuannya adalah untuk mengenang, demi sebuah pengetahuan bahwa dulu pernah terjadi sesuatu yang tidak benar," Anggi menjelaskan.
Berbagai hal di awal obrolan umumnya berkisar tentang apa yang Anggi angkat dalam filmnya, yakni menyangkut pilihan isu, dan fungsi film sebagai penanda zaman. Sementara kita tahu bahwa, selain apa yang disampaikan, film juga mengenai bagaimana cara penyampaiannya.
Pengemasan film, yang sangkut pautnya dengan ketepatan elemen audiovisual, adalah penopang utama tersampaikannya isu secara pas. Di sinilah kemudian kepiawaian seorang pembuat film diuji.
Menariknya, untuk hal ini pun Anggi terbilang peka. Dalam Istirahatlah Kata-Kata misalnya, ia menawarkan film yang berbeda dari film-film biopic yang belakangan ramai dibuat.
"Di film itu penonton akan menemukan sesuatu yang berbeda. Meskipun, itu bukan antitesis ya. Saya tidak sedang melawan, melainkan berjalan beriringan dengan Rudy Habibie, Kartini, dan lain-lain—karena kami saling memperkaya. Walaupun, saya ingin menunjukkan bahwa penonton berhak untuk merasakan suatu bentuk biopic yang lain," ujar Anggi.
Benar tidaknya tawaran tersebut tentu baru bisa dibuktikan ketika kita sudah menyaksikan filmnya. Akan tetapi, melihat film-film yang pernah ia buat sebelumnya, rasanya ada semacam jaminan bahwa Istirahatlah Kata-Kata nanti akan berbeda dari biopic pada umumnya. Setidaknya, jaminan awal ada pada Vakansi, film Anggi sebelumnya yang memiliki tutur yang khas.