Selain itu, kondisi sosial-ekonomi yang ada di Jogja juga memegang peranan penting. Nyatanya, satu yang langsung muncul pada benak Anggi, ketika berbicara tentang perbedaan Jogja dengan kota lain, adalah mengenai harga barang dan jasa. Di Jogja, menurut Anggi, semuanya serba murah.
"Enggak kayak di sini (Jakarta). Ini kopi saya saja harganya Rp 47 ribu. Di Jogja itu bisa untuk berlima, dan kami bisa ngobrol sampai berjam-jam ... Makanya, orang Jakarta mungkin agak malas ketemu dengan orang Jogja —karena kami banyak ngomong, ngobrolin gagasan, tapi enggak berangkat-berangkat. Walaupun, justru itulah yang membuat kami istimewa. Kami mungkin tidak membuat karya yang sangat banyak, tapi kami mempunyai banyak waktu untuk eksplorasi, sehingga menghasilkan karya yang khas," ujarnya.
Pertemuan antar pegiat film di Jogja juga Anggi nilai berbeda. Menurutnya, sineas Jogja itu selalu bicara terus terang kepada satu sama lain. Tidak ada kepentingan untuk berpura-pura memuji atau menyukai karya orang lain. Di Jogja, setiap kesan dan kritik disampaikan secara terbuka. Itulah kemudian yang selalu membuat sineas Jogja berpikir ratusan kali saat membuat film.
"Di Jogja itu, kalau kamu membuat sesuatu yang jelek itu kamu malu. Ini yang mungkin tidak banyak orang ketahui. Kami di Jogja itu galak betul kalau sama seniman. Galak betul. Saya kan punya diskusi sinema setiap jumat (disingkat Simamat). Di situ, seorang Jason (Iskandar) saja bisa batal bikin film —mengundur produksinya," ujar Anggi.
Singkatnya, lingkungan di Jogja cukup mendukung dalam hal ideologis maupun ekonomis. Para pelaku seni, dalam hal ini sineas, kemudian menjawab itu melalui karya-karya mereka. Wacana yang mereka usung semakin lama semakin besar. Walaupun, tidak ada kesepakatan dalam bentuk apapun antara satu sama lain.
"Kami sering kumpul, tapi nggak perlulah bikin manifesto. Nggak ada janjian. Bahkan untuk yang berbeda sama sekali, kami tidak masalah. Misalnya, orang pikir saya nggak bisa ngobrol sama Hanung (Bramantyo) karena beda ideologi. Padahal di Jogja, kami makan sate bareng," ujarnya.
Para sineas di Jogja memang berproses dengan cara mereka masing-masing. Begitu juga Anggi, yang kini menjadi salah satu pengajar di UMN. Satu hari di Tangerang ia mengajar, hari lainnya ia pulang ke Jogja. Berbagai pembelajaran, bagi Anggi, selalu ada di sekitarnya. Mulai dari hal sederhana seperti naik kereta, hingga hal yang terdengar tak biasa, seperti mengamati Awkarin.
"Kemarin saya baru meneliti tentang Awkarin. Dia adalah sosok yang menarik. Sangat menarik —sangat mewakili anak muda zaman sekarang," ucap Anggi.
Terkait gaya hidup, mungkin Awkarin adalah potret dari (sebagian) anak muda. Namun terkait gambar hidup, Awkarin merupakan potret dari merambahnya audiovisual ke ranah-ranah yang kian privat. Dengan kata lain, melalui Awkarin, tampak bahwa gambar hidup kini bisa dibuat siapapun, mengangkat cerita apapun, dalam waktu yang sangat singkat, dan diakses (jutaan kali) oleh siapa saja.
Pengaruh dari kemunculan media-media baru, yang menghadirkan gambar hidup pada level yang sangat privat, memang butuh penelusuran lebih lanjut. Namun yang pasti, pilihan khalayak untuk menghabiskan waktu dan uangnya pada gambar hidup kini bertambah banyak. Melihat hal ini, sebagai seorang pembuat film, Anggi justru tidak menganggap itu sebagai sebuah masalah.
"Ada berapa banyak sih selebaran tentang neraka, dan sebagainya itu? Banyak kan. Walaupun sumbernya cuma satu, yaitu kitab suci. Mengejek selebaran tentang neraka itu jelas tidak masalah —karena itu hanya eceran saja. Tapi apa ada yang berani mengejek kitab suci? Tentu tidak, karena itu jatuhnya penghinaan. Saya kira sinema pun begitu. Yang ada di handphone ya ecerannya saja —dan sifatnya hanya sementara. Namun sinema, sinema itu abadi," ujarnya.
Bagi Anggi, pengalaman duduk bersama, menyaksikan gambar hidup di layar besar, dengan suara yang mumpuni, memang merupakan sebuah ritual yang sulit tergantikan. Akan tetapi, catatan yang penting adalah mengenai tayangan yang ada di ruang putar tersebut. Sebab menjadi percuma bila tayangan yang dihadirkan adalah sebuah karya yang buruk —yang tidak lebih spesial dari tontonan di Youtube. Anggi melihat, sinema harus bisa menawarkan karya yang layak.
"Saya akan bilang kepada mereka [bioskop], suatu saat, tempatmu itu akan menjadi kuil. Tidak ada orang yang datang ke tempat ini untuk menonton film-film kacangan. Karena mereka akan membayar dua juta rupiah sekali masuk —yang sifatnya seperti kolekte atau zakat. It’s gonna be your another business. Dan kalau kamu (pihak bioskop) tidak mempersiapkan penontonmu untuk film-film yang beragam, maka kamu akan gagal dalam bisnis ini," seloroh Anggi.
Meski terdengar mengawang—bahkan terdengar seperti guyonan belaka —jelas tersirat keseriusan pada ucapan Anggi. Pandangannya itu merupakan bentuk kepercayaan Anggi terhadap sinema, dan perkembangan literasi audiovisual di Indonesia. Ia percaya, penonton, juga pembuat film, dapat terus berkembang bersama.
Anggi mungkin tidak mengajak siapapun untuk memiliki ideologi yang sama dengan dirinya. Ia juga tidak meminta para penonton untuk berhenti menyaksikan tayangan tak bermutu di media-media baru. Semua, pada dasarnya, saling mengisi satu sama lain. Yang Anggi lakukan hanyalah memulai dari dirinya sendiri, dengan terus melakukan eksplorasi, dan terus menghadirkannya untuk khalayak luas. Hingga pada nantinya semua orang bisa melakukan ritual di ruang putar, sembari merayakan keragaman sinema. (Raksa Santana)
---
Artikel ini telah dimuat di ruang.gramedia.com pada 19 September 2016 dengan judul "Ritual Sakral di Ruang Putar"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.