Vakansi bercerita tentang sepasang pegawai toko mebel, Ning dan Mur, yang mengantarkan sofa dari Jogja ke Temanggung. Selama di perjalanan, tercipta berbagai obrolan, kecanggungan, hingga perselingkuhan— yang disandingkan juga dengan keseharian suaminya Ning. Dalam berbagai perhelatan, Vakansi mampu memukau banyak kalangan, khususnya para pengamat film.
"Di Press Lounge tempat berkumpulnya para wartawan, Vakansi dibicarakan dan dianggap sebagai film yang 'aneh dan penuh kejutan' dan dimasukkan kategori art-house from the south-east, satu kelas dengan film-film Apichatpong Weerasethakul dan Brillante Mendoza," tulis Asmayani Kusrini di filmindonesia.or.id yang membahas kehadiran Vakansi di Locarno.
Umumnya, film-film arthouse di Indonesia beredar secara gerilya di ruang-ruang alternatif, seperti festival, lembaga kebudayaan, bioskop alternatif, maupun kampus-kampus. Vakansi, yang pada 2013 diputar di 24 festival film internasional, sempat mengalami fase peredaran seperti itu. Vakansi baru masuk ke bioskop pada Juli 2014. Itu pun hanya di tiga bioskop: Plaza Senayan, Solo Square, dan Surabaya Town Square.
Jumlah layar yang minim, dan waktu edar yang singkat, membuat Vakansi tidak menuai banyak penonton. Namun itu tidak membuat Anggi kapok. Nantinya, ia juga akan mengupayakan agar Istirahatlah Kata-Kata bisa beredar di bioskop komersial. Sebab bagi Anggi, bioskop komersial bukan hanya ruang untuk pemasukan. Ruang bioskop, menurut Anggi, juga adalah ruang pertukaran wacana.
"Kalau ruang-ruang alternatif, ya itu memang nature-nya kan. Film saya alternatif, ruangnya alternatif. Namun bila saya membuat film alternatif, tapi menghadirkannya di ruang komersial. Ya itu upaya saya untuk meraih penonton lain, sehingga mereka kenal dengan wacana lain," ujarnya.
Perkembangan film Indonesia di bioskop memang sudah terbilang baik dari segi kuantitas. Kita juga tahu bahwa penonton film Indonesia pada 2016 mengalami peningkatan. Tercatat pada September 2016, sudah ada delapan film yang mencapai lebih dari sejuta penonton. Namun, meski terkesan sudah baik, Anggi melihat ada yang kurang dari bioskop kita, yakni keragaman.
"Itu bagi saya adalah sebuah persoalan. Soalnya, penonton kita tidak diberikan pilihan. Hasilnya para penonton menggeneralisasi bahwa film Indonesia itu gitu-gitu saja," ujarnya.
Sinema dan Medium Lainnya
Semangat Anggi untuk terus menjelajahi berbagai isu, serta mengeksplorasi medium sinema, tentu tidak datang begitu saja. Ada banyak hal yang telah ia lalui, sehingga ia menjadi sineas seperti yang kita kenal sekarang. Dari berbagai hal tersebut, pengalaman ia dengan gambar hidup, serta jejaringnya dengan para sineas di Jogja, mungkin adalah dua hal yang paling mempengaruhi.
Gambar hidup yang pertama Anggi kenal adalah tayangan di televisi. Kala itu, televisi hanya dimiliki oleh segelintir orang —keluarga Anggi salah satunya. Berada di ruang tamu yang luas, televisi di rumah Anggi mampu mendatangkan warga di sekitar rumahnya untuk menonton. Pemandangan di depan televisi rumah, serta interaksi yang dihasilkan dari sebuah tontonan, kemudian berhasil memukaunya.
"Saya tidak tahu, tapi mungkin itu yang membuat saya seperti sekarang ini —karena melihat keajaiban itu... Dulu itu hanya ada dua hal yang mampu membuat orang kumpul: tempat ibadah dan televisi. Sudah itu saja. Kalau rapat kampung, atau apa kan itu struktural ya. Tapi dua itu, tempat ibadah dan televisi, seakan jadi kebutuhan," Anggi menjelaskan.
Selain dengan televisi, Anggi juga mempunyai banyak pengalaman dengan kamera. Ia mengambil foto pertama kali waktu berusia sembilan tahun. Saat itu, Anggi diberikan kepercayaan untuk mengambil gambar ibunya menyanyi di acara Pemilu 1992. Meski hasil jepretannya tidak ia miliki, peristiwa itu turut memantik minatnya terhadap gambar hidup.
Semakin bertambah usia, minat Anggi juga semakin besar. Minat tersebut kian terarah ketika ia berada di komunitas Limaenam Films. Awalnya, komunitas ini memiliki fokus terhadap kesenian secara umum, serta terbatas di kalangan pelajar SMAN 3 angkatan 56 saja. Namun seiring jalannya waktu, komunitas ini akhirnya fokus kepada film, dan mulai berjalan layaknya rumah produksi pada umumnya.
Limaenam Films, bersama dengan berbagai rumah produksi lain, seperti Fourcolours, lantas menjadi wajah perfilman Jogja dekade ini. Film-film yang dihasilkan, seperti Vakansi dan Siti, sukses menawarkan kebaruan di skena film kita. Banyak orang yang kemudian penasaran dengan geliat perfilman di Jogja. Namun tidak ada yang tahu secara pasti, termasuk juga Anggi sendiri. Yang Anggi tahu: ada banyak faktor yang mempengaruhi.
Mulanya adalah perkembangan teknologi, serta terbukanya ruang berekspresi setelah reformasi —yang juga terjadi di kota lain, seperti Jakarta, Bandung, ataupun Purbalingga. Berbagai komunitas film di ranah produksi, kajian, dan eksibisi, kemudian bermunculan. Begitu juga festival-festival film, seperti Festival Film Dokumenter, Jogja-Netpac Asian Film Festival, Festival Film Pelajar Jogja, dan lain-lain, yang rutin diselenggarakan tiap tahun, sehingga para pembuat film Jogja terpapar oleh berbagai wacana baru tentang film.