"Diminum dulu, mas, jangan sungkan," ucap Iwa Kusuma. Saya mengangguk, dan ia tersenyum puas. Iwa menyulut sebatang rokok dan mengajak kami mengobrol di beranda. Lebih santai kalau begini, katanya.
Dua dekade lalu, Iwa menjadi garda depan dari generasi pertama rapper Indonesia yang berhasil menembus arus utama. Ketika ia naik panggung dengan nama Iwa K dan merilis lagu Kuingin Kembali pada tahun 1992, Indonesia diperkenalkan pada gaya rap-nya yang khas. Ketika lagu Bebas dirilis pada tahun 1993, Indonesia dilanda demam musik rap, dan Iwa "keracunan sampai sekarang".
Iwa bersandar di kursi, menandaskan segelas sirup sembari menyicil satu pak rokok. Percakapan kami sempat tertunda sejenak selagi ia menenangkan anaknya yang menangis saat ia tinggal. Iwa tersenyum, seolah meminta maaf, dan menggaruk-garuk kepalanya. Sore itu, ia tampak tenang dan penuh canda. Setiap pertanyaan ia jawab dengan mudah, setiap kisah ia kenang dengan lancar. Sepanjang wawancara kami, ia berulang kali terkekeh dan geleng-geleng kepala, seolah heran dengan ceritanya sendiri.
Ia berdeham dan menggeser asbaknya. "Gapapa, kan, kalau gue cerita dari awal?"
----
Pada tahun 1984, Iwa jatuh cinta pada musik rap untuk pertama kalinya. "Lagu rap pertama yang gue dengar justru masuk di album kompilasi lagu-lagu disko," kisahnya. Kaset tersebut adalah satu dari sekian banyak album kompilasi resmi maupun tidak resmi yang saat itu beredar luas di pasaran. Sekali dengar, Iwa muda langsung terpukau.
"Gue mulai berpikir, lucu juga cara rapper bertutur," kenangnya. "Mereka tidak terikat notasi, tapi enak. Kalau lo dengar, orang kalau nge-rap kan agak kayak perkusi."
Ia menemukan rap pada saat yang tepat. Pada pertengahan dekade 80-an, hip hop mulai menembus arus utama. Atribut dari subkultur tersebut, seperti rap, DJ, dan tari kejang (breakdance) mulai dikenalkan ke masyarakat luas.
Pada tahun 1984, sebuah film berjudul Breakin' dirilis, dan anak muda Indonesia berduyun-duyun menjajal tari kejang. "Dulu memang euforianya begitu," kenang Iwa. "Kita bawa kardus, lapis pakai vinyl, lalu kita perform." Salah satu lagu yang masuk soundtrack film tersebut, Reckless dari Ice-T, segera didapuk sebagai lagu wajib generasi breakdance.
"Waktu itu, yang jadi fokus utama adalah breakdance-nya," tutur Iwa. "Tapi, entah kenapa gue lebih suka sama musik yang mengiringinya." Ia mulai lebih serius mendalami musik pengiring tari kejang tersebut.
"Dulu gue dengerin satu lagu buat cari liriknya. Itu masih pakai kaset," kenangnya sembari tergelak. "Gue rewind, gue play lagi, terus gue ulang sampai kaset gue rusak head-nya." Ketika teman-teman satu kelompoknya sibuk menari, ia mulai bereksperimen mengiringi mereka dengan rap yang ia karang sendiri. "Gue mencoba jadi plagiator murni," tuturnya.
Memasuki paruh kedua dekade 80-an, demam tari kejang mulai reda. Namun, Iwa justru semakin penasaran dan berani bereksperimen dengan rap. "Gue dulu sering perform di acara ala pasar seni, seperti kebanyakan anak SMA," kisahnya. Bandnya tak sekadar menambahkan rap sebagai hiasan di lagu-lagu mereka. Iwa didapuk sebagai vokalis dan mengisi rap di sepanjang lagu. "Tapi, referensi kami tentang musik rap minim banget," kenang Iwa.
Alih-alih mengiringi Iwa dengan hip hop, band tersebut memainkan musik bergaya jazz fusion yang saat itu lebih terkenal. "Waktu itu, kami sok-sokan bikin lagu sendiri," ujar Iwa sembari tersenyum lebar. "Gue selalu ada keinginan untuk perform pakai lirik yang baru. Jadi, gue mulai terbiasa menulis lirik."
Iwa dan bandnya mulai rajin meramaikan panggung di Ibukota. Namun, musik rap masih belum mampu menjangkau audiens lebih luas. "Sebenarnya, beberapa lagu sudah mulai bereksperimen dengan rap," kisah Iwa. "Saat itu, bahkan Denny Malik saja sudah memasukkan unsur rap di lagu Jalan-Jalan Sore." Teknik menyanyi terbata-bata yang dipopulerkan Farid Hardja, serta aksi berbalas pantun yang kerap dilakukan Benyamin S. juga dianggap sebagai leluhur artistik rap di Indonesia.
Di klub malam kota-kota besar Indonesia, segelintir rapper mulai mendapat ruang di acara-acara tertentu dan kompetisi rap skala kecil. Namun, bisa dibilang tidak ada yang meninggalkan jejak berarti. “Gue selalu bilang, gue bukan yang pertama.” Ucap Iwa. “Tapi, tidak bisa dipungkiri, rap masih segmented banget.” Band Iwa pun tak bertahan lama. Ia lulus SMA di akhir dekade 80-an, dan pindah ke Bandung untuk kuliah. Di sana, Iwa mendapat terobosan yang di luar dugaan.