PERISTIWA bom yang meledak di Kampung Melayu, Jakarta Timur, sebagai aksi bunuh diri untuk tujuan-tujuan tertentu telah memporak-porandakan semuanya.
Tidak hanya membuat hancur hati seluruh keluarga yang menjadi korban bom, namun, yang lebih menyedihkan, peristiwa kekerasan itu merapuhkan tenunan kemajemukan bangsa ini.
Beberapa ratus meter dari titik lokasi bom yang meledak di halte bus transjakarta di Kampung Melayu, adalah salah satu wilayah paling berbineka di seantero Jakarta, yakni kawasan Bali Mester.
Sejarah Kampung Bali Mester adalah sebuah narasi besar tentang pluralitas, dalam konteks pemukim, budaya, dan keyakinan dengan teritori utamanya di kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur.
Mester diambil dari nama Meester (tuan) Cornelis. Catatan harian VOC (Dagregister) pada 13 Desember 1656 menyebut Meester Cornelis seorang penginjil dari Pulau Banda yang telah membeli tanah di wilayah Jatinegara.
Semenjak itu, keberagaman mewarnai lebih marak. Akulturasi terjadi dari penduduk lama pendatang asli dari Bali, etnik Tionghoa yang memusatkan diri di aktivitas perdagangan, kemudian etnik Jawa dan Betawi yang mendiami wilayah ini menyusul dari generasi ke generasi.
Kampung Bali Mester adalah kampung Bali tua yang bersamaan hadirnya dengan pemukim etnik Bali di kampung Tambora, Jakarta Barat. Sejak Ratusan tahun lalu orang-orang Bali memang mendiami wilayah ini, jauh sebelum ada kota Batavia.
Dalam sejarah, sejak zaman VOC, tak ada catatan tentang konflik besar karena perbedaan keyakinan atau problem kemajemukan di masyarakat.
Karena itu, Jatinegara dan tentunya Bali Mester, dianggap sebagai pusat ekonomi yang selalu dinamis dan prototipe masyarakat penghuninya memiliki tenggang rasa dan empati yang tinggi.
Kita bisa menyaksikan Gereja Koinonia di ujung pertemuan Jatinegara dengan Matraman, Masjid Jami' tua Al Anwar di Rawa Bunga, Kelenteng Amurva Bhumi di Pasar Lama Jatinegara, serta vihara-vihara mungil yang tersembul diantara gang-gang kecil pemukiman warga di kampung Bali Mester.
Baca juga: Mengunjungi Bangunan Bersejarah di Jatinegara
Pesan bom
Almarhum Profesor Benny H Hoed, pakar lingusitik dan kajian ilmu sosial- budaya mengenalkan istilah anchorage, yang berasal dari kata anchor alias jangkar atau tonggak dalam bahasa Indonesia untuk memahami sebuah peristiwa sebagai sebuah pesan.
Kejadian yang menjadi sebuah tanda dengan kandungan-kandungan makna ingatan komunalitas yang menghantar bersamanya. Memori kolektif sebagai sebuah ilmu tafsir budaya tidak merangkum hanya sebuah isu yang muncul hari ini.
Tapi, mengkaji sebuah endapan peristiwa-peristiwa ratusan tahun di masyarakat yang segera hadir tatkala peristiwa tragis bom membawa serta-merta untuk didedah.
Hoed menjelaskan bahwa tonggak sebagai sebuah peristiwa adalah representament, sebuah simbol perwakilan di permukaan yang jika kita menggali lebih jauh akan terhubung dengan elemen lambang lainnya, interpretant.