1999, Hotel Le Meridien.
KAMI tengah beristirahat setelah sesi pertama sebuah diskusi dunia perbukuan. Saya sendiri hadir sebagai salah satu pembicara di sesi berikut ketika saya melihat YB Mangunwijaya alias Romo Mangun--demikian panggilan akrab beliau—berbincang dengan kolumnis M Sobary dan beberapa orang lain, membentuk lingkaran kecil.
Saya hanya mengangguk dari jauh kepada keduanya.
Tak lama, tiba-tiba saja heboh, Romo Mangun tampak terkulai dan segera ditangkap oleh penulis M Sobary. Beliau segera dibawa ke klinik hotel dan hanya beberapa saat beliau ternyata sudah pergi ke alam baka.
Belum pernah saya mengalami sebagai saksi seseorang yang mengembuskan napas akhir, sehingga pengalaman ini tak pernah hilang dari benak saya.
Seperti halnya tak pula hilang kenangan Romo Mangun yang ikut duduk bersila di lantai sayap kanan Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki (saking penuhnya yang hadir) di Kongres Kebudayaan 1986.
Kami tertawa kecil menyaksikan Sutan Takdir Alisyahbana yang menggerutu dengan penggunaan kata "pantau"--yang menurut beliau tak bisa dijamin itu berarti "monitor".
Lahir tahun 1929 di Ambarawa, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang dikenal sebagai Romo Mangun adalah seorang rohaniwan, seorang arsitek, aktivis dan tentu saja sastrawan yang sudah menghasilkan belasan buku.
Salah satu karya Romo Mangun yang dikenal melalui novelnya yang berjudul "Burung-Burung Manyar".
Novel ini mengambil setting di masa penjajahan Belanda dan mengantarkannya pada penghargaan sastra seAsia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996.
Romo Mangun juga melahirkan novel seperti Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa; Trilogi "Roro Mendut"; novel Durga/Umayi dan esai-esainya tersebar di berbagai media dikumpulkan dalam buku, salah satunya adalah "Sastra dan Religiositas".
Di dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" episode pembuka musim tayang 5 ini, penyair Joko Pinurbo menceritakan bagaimana bersama Th Kushardini berupaya mengumpulkan, menyeleksi dan menyunting kedua karya Romo Mangun yakni novel Pohon-pohon Sesawi dan kumpulan cerpen "Rumah Bambu" yang kemudian diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia.
Salah satu tantangan Joko Pinurbo yang mempunyai gaya penulisan yang khas sendiri tentu saja adalah karena perbedaan gaya.
"Romo Mangun, seperti juga para penulis di jamannya gemar menulis dengan kalimat panjang-panjang," demikian ujar Joko Pinurbo dalam acara podcast ini.
"Jika ada beberapa kalimat yang terlalu panjang, saya memotongnya menjadi dua kalimat agar lebih rapi. Tetapi gaya serta diksi Romo Mangun yang jenaka harus tetap dipelihara."