”Jadi harus sadar bahwa keaktoran dalam film itu didukung oleh sekian banyak unsur, dan semua unsur itu harus dipahami supaya bisa bersinergi. Harus paham dasar-dasar editing, kamera, dan sebagainya. Terus soal tepat waktu, bagaimana seandainya dia melalaikan waktu akan merepotkan semua,” tandasnya.
Soal tepat waktu ini, Tio punya kenangan tersendiri. Waktu bermain dalam film Adikku Kekasihku (1989), ia pernah ditampar oleh sutradaranya, Wim Umboh almarhum, gara-gara terlambat tiba di lokasi shooting. ”Saya telat 10 menit. Langsung dipanggil, ditanya apakah sudah tahu kesalahan saya, terus ditampar di pipi 11 kali. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi telat,” kenang pengidola Bing Slamet dan Bruce Lee ini.
Ilmu-ilmu dasar akting itu akan dituangkan dalam buku yang sedang disusun Tio dan kurikulum sekolah akting miliknya, Satoe Acting Atelier, yang akan dibuka Februari mendatang di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Tio mengatakan, buku dan sekolahnya ini benar-benar berisi ilmu akting khusus untuk film sehingga setelah tiga bulan kursus, lulusannya benar-benar siap pakai untuk produksi film/sinetron. ”Saya mencoba membuat metode sendiri, di mana seseorang bisa mencapai keaktoran dalam taraf tertentu, tidak perlu melakukan pelatihan seberat di teater,” tutur Tio, yang mengaku prihatin melihat kualitas sinetron zaman sekarang.
Begini, selama ini, hampir semua buku dan referensi soal akting yang saya baca selalu menarik dasar-dasar akting ke teater. Kebanyakan buku mengatakan akting di teater dan film atau televisi itu sama saja. Kalau menurut saya tidak sama.
Tentu saja dasar-dasar akting dalam berteater itu perlu diketahui, tetapi metode pelatihan (dalam teater) tidak perlu semuanya dilakukan sebab kebutuhannya berbeda. Untuk berakting di film, harus memakai metode baru. Dalam bahasa saya, ya, memakai Metode Tio.
Di teater, ekspresi di panggung sangat perlu dieksplorasi karena ada jarak antara panggung dan penonton. Sementara kalau di film, setiap titik itu ditangkap oleh kamera, sekecil apa pun.
Di teater, kenapa latihannya sekian lama dan harus mencapai kristalisasi akting yang luar biasa, karena dia tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun saat sudah di atas panggung. Konsistensinya luar biasa. Di film kan tidak. Kalau salah tinggal diulang.
Di film, musuhnya aktor itu kamera, karena gerak sedikit saja itu sudah menentukan arti. Hal-hal kayak gitu yang akan saya coba ajarkan. Ada bab soal sadar frame dalam buku saya itu. Ekspresi aktor saat di-close up, misalnya, akan memberi arti tersendiri. Kalau di teater kan tidak ada close up.
Untuk menjadi aktor, orang itu harus becermin dulu. Lihat dulu ke diri sendiri, digali dulu, kasih kuesioner kepada diri sendiri. Kira-kira mampu enggak saya mencapai keaktoran? Artinya dia harus tahu diri dulu, cukup cerdaskah dia untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya? Modal paling utama harus cerdas. Sebab kalau kurang-kurang, ya, jangan mimpi dulu, sebab akan merepotkan yang lain. Betul enggak?