Banyak sekali yang tolol. Ada ekspresi tolol yang diucapkan, dia biarkan saja. Kalau hal-hal seperti itu dibiarkan, ya sutradaranya tolol juga. Di sinetron, (adegan konyol) yang paling sering terlihat, misalnya kita sudah tahu apa yang terjadi, tetapi ditambahi suara monolog yang seperti suara dalam hati itu. Aduh, itu paling sering dibuat dan diulang, dan itu pembodohan yang sangat luar biasa.
Content. Isi cerita. Secara teknologi tentu sekarang lebih maju. Hardware dan fasilitas sudah jauh lebih keren dibanding dulu. Tetapi konteks ceritanya jauh. Yang sekarang enggak ada apa-apanya. Jadi, tidak membumi, tidak mengindonesia. Terjadi pergeseran kultur, film-film (sekarang) itu kehilangan identitas kulturalnya.
Yang sekarang diangkat (ke dalam film) lebih ke persoalan individual atau kelompok, bukan persoalan semua orang. Jadinya tidak bisa dinikmati seluruh keluarga. Kalau dulu, filmnya Teguh Karya, seperti Di Balik Kelambu (1982) atau Secangkir Kopi Pahit (1984), ceritanya bisa dinikmati seluruh keluarga. Tetapi kalau sekarang, apa sih film Indonesia itu? Yang bisa menikmati cuma segelintir.
Tetapi, saya rasa itu masalah umum. Seperti di dunia musik kan enggak ada lagi kita dengar musik dengan syair lagu sebagus zaman dulu. Mungkin sedang terjadi pengucilan yang kita tidak sadari terjadi di semua tempat. (Sekarang ini) dibutuhkan orang-orang yang mau berjibaku untuk mengembalikan identitas bangsa ini supaya tidak luntur.
O, bukan berarti tidak ada. Tetap ada hal-hal yang masih baik itu, tetapi mostly hilang. Sekarang ini jarang sekali saya menemukan pembuat cerita atau penulis skenario yang baik. Baik itu maksudnya ada gunanya buat banyak orang kalau disajikan ke masyarakat umum. Kalau tak ada gunanya buat apa? Nah, sekarang ini banyak sekali yang tidak banyak gunanya. Nafsunya cuma mau bikin film, nafsu bikin untung, nafsu pengin terkenal. Film kan yang penting message-nya, mau menyampaikan apa.
Akting yang bagus itu yang tidak akting. Kata act itu kan maknanya bukan yang sesungguhnya. Jadi kalau bisa akting seperti tidak berakting, berarti dia bisa berakting seperti yang sesungguhnya. Yang natural.
Kalau saya bikin pembedaan, ada seni akting, ada seni peran. Kalau akting dibutuhkan di teater. Kalau pemeranan, dibutuhkan di film. Saya rasa itu beda. Di festival-festival (film) pun tidak ada aktor terbaik, yang ada pemeran utama terbaik. Itulah yang saya tawarkan di sekolah saya itu, pemeranan secara natural, bukan akting. Bukan yang dibuat-buat.