Dalam pembuatan film, visual penonton bisa dibatasi dan dibingkai dengan kamera. Namun, dalam musikal, mata penonton dibiarkan bebas melihat semua keadaan di atas panggung.
”Hal ini membuat kami harus memberikan kemampuan terbaik agar mata dan hati penonton bisa terpuaskan,” kata Riri.
Meski berharap musikal ini diminati masyarakat, Mira-Riri menolak apabila karya ini disebut sekadar berdagang. Alasannya, apabila sekadar mencari uang, musikal atau film bukan ladang subur.
Ia mencontohkan, beberapa film yang telah digarapnya tidak semua meraup penghasilan tinggi. Dari 10 film, hanya AADC, Petualangan Sherina, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi yang menghasilkan keuntungan tinggi karena ditonton masyarakat. Sisanya, film seperti Gie, Eliana Eliana, dan Rumah Ketujuh, tak menghasilkan keuntungan besar.
”Pada prinsipnya, kami percaya pada ide dan gagasan saat ingin menawarkan alternatif baru bagi masyarakat,” kata Mira.
Saat ditanya apakah musikal ”Laskar Pelangi” akan ditampilkan di luar Jakarta? Mira menjawab, masih sulit diwujudkan. Salah satu alasannya, keterbatasan panggung berkapasitas sama besar dengan TIM yang belum tersedia di daerah lain.
”Semoga saja setelah ini ada minat atau niat dari kepala daerah, seperti di Bandung, untuk membangun tempat pertunjukan yang representatif,” ujar Mira.