Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Kisruh Film Impor

Kompas.com - 26/02/2011, 03:29 WIB

Melihat ancaman MPA, kita harus menganalisis dengan cukup jernih. Ini bukan pertama kali MPA punya ulah di Indonesia. Tak usah menyebut penentangan terhadap MPA pada zaman Soekarno ketika kantor mereka di Indonesia ditutup kala itu, tetapi cukup peristiwa 20 tahun lalu.

Di bawah kontrol Orde Baru yang seolah-olah mau melindungi budaya bangsa Indonesia, muncul kebijakan untuk membatasi jumlah judul film asing yang beredar di Indonesia, terutama film-film Amerika.

Awal dekade 1990-an, MPA yang makin ekspansif keberatan dengan kebijakan itu. MPA minta kelonggaran, bahkan pembatalan. Ketika pemerintah menolak, MPA balik mengancam: Pemerintah Amerika akan membalasnya dengan memblokade jalur ekspor tekstil dan plywood Indonesia ke Amerika. Pemerintah Indonesia akhirnya mengalah dan film Hollywood pun makin deras masuk Indonesia (Krishna Sen, 1994).

Inilah fenomena yang akan terkristal dengan munculnya lembaga perdagangan dunia, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Di luar itu, Pemerintah Amerika rajin menekan Indonesia untuk akses pasar yang lebih besar lewat perjanjian multilateral dan bilateral. Alhasil, memang film-film Hollywood seakan tanpa batas.

Janet Wasko, peneliti soal industri film di Amerika, pernah menyebut dalam bukunya How Hollywood Works (2003) bahwa ekspansi film-film Hollywood ke berbagai wilayah di dunia sudah terjadi sejak awal abad ke-20. Dominasi film-film Hollywood adalah gabungan faktor sejarah, ekonomi, politik, dan budaya sekaligus. Jangan lupa, diingatkan Wasko juga, bahwa industri hiburan adalah industri kedua hasil ekspor terbesar dari Amerika. Hasil penjualan film Amerika di luar negeri makin lama makin besar persentasenya, di samping makin meningkat angka penjualan riilnya.

Oleh karena itu, ”wajar” dan bisa diterima ”logika” bahwa Amerika dan lewat jejaring MPA-nya melakukan segala daya upaya untuk melawan atas setiap bentuk pembatasan atas akses pasar film mereka di mana pun. Inilah yang terjadi di Kanada, Perancis, Korea Selatan, Thailand, India, dan sejumlah tempat lain. Ini logika dagang semata: tak mau dibatasi, tak mau diatur, yang penting keuntungan mengalir deras.

Sisi Indonesia

Upaya Pemerintah Indonesia menaikkan pajak impor film bisa dilihat dari dua sisi. Satu, target yang dibebankan pada sektor film impor ini cukup tinggi yang mungkin terkait dengan target pemasukan dari pajak. Namun, di sini juga muncul pertanyaan, apakah angka 27 persen atas pajak tersebut sesuatu yang wajar? Dari mana munculnya angka itu? Butuh penjelasan lebih detail dari pihak pemerintah.

Kedua, salah satu argumen pemerintah menyatakan bahwa pemberlakuan tarif dimungkinkan sebagai suatu bentuk proteksi terhadap pasar film, yang dalam salah satu artikel kesepakatan WTO dimungkinkan. Dalam arti ini, niatan pemerintah mulia: memproteksi pasar perfilman dalam negeri.

Namun di sisi lain, muncul pertanyaan apakah ini strategi yang cerdas, mengingat langkah tak diikuti perencanaan sistematis untuk mengembangkan dunia perfilman menjadi industri kreatif yang maju dan mandiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com