”Sudah tidak ada lagi?”
”Sudah habis.”
”Ya, Tuhan, habis? Kenapa?
”Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.”
”Sudah amblas?”
”Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua.... Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu....”
Ananda menimpakan nada demi nada pada suku-suku kata itu yang kombinasi naik-turunnya, variasi ketukannya, kecepatannya, dan keras-lembutnya sedemikian rupa sehingga terasa sebagai ekspresi komedik. Jawaban-jawaban jenaka dan ringan dari pemeran ibu itu dibawakan dalam nada-nada tinggi, cukup sering dengan kelokan-kelokan tajam, sehingga tepat dibawakan oleh seorang soprano koloratura liris.
”Suara koloratura itu bermain pada nada-nada tinggi dengan rentang yang lebar, lincah, dan karena itu mudah ditekuk-tekuk,” kata Ananda.
Di Indonesia jarang tersua perempuan berkarakter suara demikian. Ananda menemukannya pada Evelyn Merrelita Sumilat lewat kompetisi vokal Tembang Puitik Ananda Sukarlan yang berlangsung April lalu. Evelyn bertungkus-lumus sebagai penyanyi paduan suara sekaligus solis sejak ia mahasiswa di Universitas Kristen Petra Surabaya per 1997.