Lakon pasangan Joni dan Susi adalah rekaan sekelompok musisi asal Yogyakarta, Melancholic Bitch (Melbi). Mereka menulis cerita itu menjadi 12 lagu dalam album Balada Joni dan Susi (BJS) yang diluncurkan pada tahun 2009.
"Ketika Joni 21 dan Susi 19/hidup sedang bergegas/di reruntuh ruang kelas..." adalah sapaan pembuka di album keluaran Dialectic Records itu. Larik itu adalah perkenalan pendengar dengan tokoh sentral. Cerita pun mengalir dalam lagu-lagu berikutnya, dimulai dari saling merayu, mimpi mengelilingi dunia, hingga kemiskinan yang mendorong Joni mencuri roti. Kisah kasih mereka berakhir tragis.
Romantika dua sejoli itu awalnya penuh warna, lalu beranjak gelap. Di lapis lebih bawah lagi, ada sentilan kepada media massa yang disebut "datang lebih cepat daripada ambulans". Bisa dibilang, album itu adalah album konsep yang seluruh lagu di dalamnya merupakan satu kesatuan dengan cerita yang sambung-sinambung.
Melbi membalut semua itu dalam langgam rock yang tak terlalu keras, dibumbui bebunyian sintetis dari komputer, keyboard, dan gitar yang digesek dengan busur biola. Berbekal itu, Melbi menyajikan lakon album itu dalam acara berjudul "Joni dan Susi Go To @america" di @america, pusat kebudayaan yang dikelola Kedutaan AS, di Pacific Place, Jakarta.
Di pusat belanja itu, tersapat gerai pakaian merek wahid, seperti Hermes, Bvlgari, dan Louis Vuitton. Orang bisa juga bersantap enak atau ngupi-ngupi. Melbi tampil sesaat setelah hujan deras dan angin kencang mendera Jakarta. Saat itu, mal besar itu terasa dingin dan lengang saja.
Ugoran Prasad (vokal), Yosef Herman Susilo (gitar), Richardus Ardita (bas), serta musisi pengganti Faiz Wong (drum), dan Pulung Fajar (gitar) naik panggung setelah Jacob Bills, Public Affairs Staff US Embassy, membuka pertunjukan.
Berurutan
Pertunjukan dibuka dengan "Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Francisco", yang dipetik dari album pertama mereka, Anamnesis (2004). Ya, lirik lagu itu memang berasal dari puisi karya Sapardi Djoko Damono berjudul sama. Baru pada lagu kedua, "Bulan Madu", dongeng Joni dan Susi bergulir.
Untuk menjaga jalinan cerita, Melbi memainkan lagu di album BJS secara berurutan. Ada prolog yang menjembatani setiap lagu. Naskah BJS diperkaya dengan sisipan lagu lain di luar album itu. Di antara tembang "7 Hari Mencari Semesta" dan "Distopia", Melbi menyisipkan lagu "Tentang Cinta" dan "The Street" dari album pertama, serta "Elderly Woman Behind The Counter in A Small Town" milik Pearl Jam. Walau diimbuhi, jalinan kisah itu tak lantas amburadul.
Ketegangan pada pertunjukan malam itu muncul ketika "Mars Penyembah Berhala" dilantunkan. Di bagian ujung lagu, Ugo berteriak dan bergerak liar ke sana-sini. "Saudara-saudara dalam iman, letakkanlah kedua tangan saudara ke layar kaca televisi. Pejamkanlah kedua mata Saudara, lihatlah satu titik cahaya di kejauhan. Cahaya itu, Saudara, adalah semesta yang pepat dalam empat belas inci."
Di bawah panggung, penonton menggemakan seruan bagian refrein lagu itu berulang-ulang. "Siapa yang membutuhkan imajinasi/jika kita sudah punya televisi. Mendengar dan menyaksikan itu, bulu kuduk pun meremang..."
Selepas lagu itu, tensi pertunjukan menurun. Mereka mengumpulkan kembali napas yang terengah. Nuansa mencekam justru makin terasa karena dongeng memasuki babak kegelapan saat Susi demam dalam pelarian mereka. "Mereka lapar namun miskin. Joni tak gila ketika didengarnya dinding berbisik/pelan berbisik/curilah roti."
Pertunjukan berlangsung selama hampir 90 menit yang menyajikan 17 lagu. "Menara" jadi lagu pamungkas. Ugo berpamitan dengan mengatakan, Melbi dan penonton akan bertemu lagi dalam waktu dekat, atau jauh.
Eksplorasi
Sejak album Balada Joni dan Susi diluncurkan, kelompok yang terbentuk dari komunitas Forum Musik Fisipol UGM itu disiplin menjaga keutuhan skenario Joni dan Susi. Urutan lagu di pentas sama dengan urutan di album. "Baru belakangan ini saja kami berani menyisipkan lagu dari album pertama. Apalagi, kami baru saja melepas Re-Anamnesis (kemasan ulang album pertama)," kata Yosef.
Pentas itu, dan karya musik mereka, adalah muara dari eksplorasi yang menjadi roh kelompok yang terbentuk pada tahun 1999. Ugo mengakui hal itu saat berbincang sebelum pentas di Bandung, Mei lalu. "Kami tidak puas dengan logika band yang mendudukkan orang dalam posisi yang itu-itu saja. Inginnya setiap personel Melbi seperti David Byrne yang mengeksplorasi bebunyian," kata Ugo.
Dari situlah komposisi lagu-lagu Melbi bertolak. Tembang "Distopia", misalnya, disebut Ugo adalah contoh hasil pendalaman bunyi dilakukan personel Melbi. Lagu itu menyisipkan irama genit yang umum terdengar dalam lagu-lagu dangdut ala pantai utara Jawa. "Kami mencari betul bagaimana sound pantura sebenarnya," kata penulis fiksi dan teater ini.
Penampilan di Jakarta malam itu bisa jadi adalah pentas terakhir sampai berbulan kemudian. Ugo harus kembali ke AS untuk melanjutkan studi. Gitaris Yennu Ariendra juga akan mengerjakan proyek musik di Jepang dan Australia. Sementara Yosef dan Didit kembali menekuni pekerjaan sebagai teknisi suara dan desainer website. (Herlambang Jaluardi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.