Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wajah Politik Kita di Film "Tjokroaminoto"

Kompas.com - 07/04/2015, 16:09 WIB
JAKARTA, KOMPAS -- Namanya selalu dikait-kaitkan dengan sejumlah tokoh besar di negeri ini, mulai dari Semaoen, Muso, Kartosuwiryo, Tan Malaka, hingga Soekarno. Tumbuh di tengah masa perbudakan kolonialisme Belanda, Tjokroaminoto mengobarkan semangat nasionalisme yang berpijak pada prinsip sama rata sama rasa. Sineas Garin Nugroho dan Christine Hakim menggarapnya ke dalam sebuah film.

Tjokroaminoto merupakan nama besar yang terlupakan. Sosoknya hanya kerap diingat dalam pelajaran Sejarah sekolah dasar atau paling tidak sebatas dikenang sebagai nama jalan. Tidak banyak orang tahu apa peran Tjokroaminoto bagi perjalanan sejarah bangsa yang kini berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini.

Bagi sutradara Garin, Tjokro merupakan sosok guru bangsa. Ia melahirkan gerakan kemanusiaan yang diinisiasi oleh kaum priayi. Tjokro juga menerapkan prinsip berjuang tanpa kekerasan. Ia tidak pernah mempersoalkan ideologi yang datang bersamaan pada masa itu.

"Semua ideologi itu baik. Yang bahaya adalah jika tangan ini digunakan untuk menerjemahkannya dalam bentuk kekerasan," kata Tjokro yang dalam film diperankan oleh Reza Rahadian.

Ketika Belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi pada 1901, Tjokro dengan cantik memainkan perannya sebagai priayi untuk menyejajarkan kedudukan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sejajar dengan Belanda. Tjokro mengukuhkan kesejajaran itu dengan identitas cara berpakaian.

Meski ia telah meninggalkan kehidupannya sebagai priayi dan memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa, Tjokro tetap tidak menanggalkan jas yang dipadu dengan jarik (kain batik) dan blangkon.

Dengan pakaian itu, ia menolak disentuh secara tidak sopan oleh opsir-opsir Belanda. Dengan pakaian itu pula, Tjokro menolong kuli-kuli perkebunan atau buruh pelabuhan yang disiksa Belanda.

Garin membuka adegan dengan suasana Penjara Kalisosok, Surabaya, Jawa Timur, berlatar belakang tahun 1921. Di tempat itulah, Tjokro dipenjarakan oleh Belanda. Pidato-pidatonya tentang kesetaraan dan kemandirian ekonomi dianggap menghasut dan membangkitkan perlawanan kaum buruh.

Dari penjara muncul dialog panjang lebar tentang ihwal perjuangan Tjokro. Penonton kemudian dibawa ke masa lalu Tjokro untuk menggambarkan kronologi perjalanan hidup seorang Tjokro. Digambarkan, sejak remaja sudah muncul kesadaran akan bangsa yang tertindas dalam diri Tjokro.

Kesadaran sejak dini
Kesadaran itu muncul dari pengalaman sehari-hari yang ia temui. Tjokro kecil sering melihat kuli-kuli perkebunan kapas dipukul bertubi-tubi hingga berdarah-darah karena melakukan kesalahan kecil saja.

"Tidak akan ada lagi darah yang tumpah di kapas-kapas ini," kata Tjokro.

Periode Tjokro dewasa dimulai ketika ia menikahi Soeharsikin (Putri Ayudya), anak bupati Ponorogo yang diperankan Sujiwo Tejo. Kegelisahan untuk membawa bangsa ini ke arah lebih baik, yang oleh gurunya disebut sebagai hijrah, membuat Tjokro memilih pergi meninggalkan Jawa Timur dan pergi ke Semarang, Jawa Tengah. Di sana, ia membangun usaha batik.

Ketika mulai merintis usaha batik di Semarang, ia juga mendobrak tatanan feodalistik raja-raja Mataram yang hanya membolehkan motif batik tertentu, seperti parang rusak, kawung, dan sidomukti, untuk kalangan ningrat. Usaha batik Tjokro memperbanyak motif-motif itu agar bisa dipakai rakyat.

Tjokro juga menjadi peletak dasar ideologi yang menggerakkan bangsa ini. Ia berani menjadikan agama, dalam hal ini Islam, sebagai penggerak ideologi yang humanis. Islam menerapkan prinsip sama rata sama rasa. Ini berarti membuka kesempatan bagi semua kalangan untuk mendapatkan akses politik, pendidikan, ataupun ekonomi.

Pengembaraannya mempertemukan Tjokro dengan Kiai Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI). Di Surabaya, Tjokro kemudian melebur SDI menjadi Sarekat Islam (SI) untuk mengatasi perpecahan. Ia lalu mengubah kebiasaan memakai blangkon menjadi kopiah sebagai simbol penyatuan antaretnis dan agama.

Di tangan Tjokro, SI berkembang menjadi besar dengan jumlah anggota mencapai 2 juta orang. Pada awal 1900-an, jumlah penduduk Jawa masih sekitar 30 juta manusia. Melalui SI, Tjokro mengajarkan agar bangsa Indonesia bisa berdikari secara ekonomi dan mendahulukan pendidikan, dua hal yang kemudian diteruskan sebagai landasan politik Soekarno.

Tjokro mendorong dibangunnya koperasi-koperasi di setiap daerah agar hasil bumi petani bisa mendapatkan harga layak. Politik ini digagas untuk melawan tanam paksa yang diterapkan Belanda. Ia juga membangun surat kabar di sejumlah daerah untuk memperkuat kedudukan politik bangsa.

SI Merah
Namun, lantaran pijakan politiknya itu pula, Tjokro dianggap lamban oleh kalangan muda, salah satunya Semaoen yang menjadi anak kos di rumah Tjokro di Peneleh.

Semaoen dan teman-temannya menganggap perjuangan untuk merebut tanah (perjuangan agraria) harus didahulukan daripada pendidikan. Karena tidak puas, Semaoen kemudian mendirikan SI Merah, cikal bakal Partai Komunis Indonesia.

Melalui Tjokro, Garin tak hanya hendak bercerita tentang biografi tokoh besar. Di sana, Garin juga menggambarkan situasi sosial politik masyarakat yang tetap relevan hingga saat ini. Dalam cerita, Garin memasukkan soal pertikaian antaretnis. Pada masa itu, kaum Tionghoa dan pribumi dihasut Belanda untuk bertikai.

Ada juga persoalan organisasi massa yang suka main hakim sendiri karena menganggap orang lain tidak sealiran dengannya. Masalah lain adalah soal kewarganegaraan bagi mereka yang berdarah campuran.

Melalui tokoh Stella (Chelsea Islan), digambarkan ketidakjelasan status bagi mereka yang menikah antarbangsa.

"Siapakah penduduk asli itu? Ayahku Belanda dan ibuku adalah perempuan Bali yang ingin belajar masakan Hindia Belanda. Lalu siapakah aku, Tuan Tjokro?" (Lusiana Indriasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau