Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Plunderphonics: Melawan dengan Musik "Bajakan"

Kompas.com - 16/01/2017, 19:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pada November 1989, seorang komponis asal Kanada bernama John Oswald diperintahkan untuk melacak dan menghancurkan semua kopi albumnya yang telah beredar di pasaran.

Titah itu datang dari Asosiasi Industri Rekaman Kanada (CRIA), dan membuat Oswald kebingungan. Pasalnya, album yang dimaksud disebarkan secara gerilya.

Sepanjang tahun 1989, ia menyebarkan kopi album berjudul Plunderphonics tersebut ke stasiun radio, perpustakaan, universitas, toko musik independen, dan siapapun yang berani menyimpannya.

Album itu lekas tersebar dari tangan ke tangan tanpa memakai jalur distribusi lazim, sehingga mustahil dilacak.

Hingga kini, Plunderphonics dan pendahulunya, EP (1988) masih jadi catatan kaki yang kontroversial dalam sejarah musik dunia.

Melalui kedua rilisan tersebut, Oswald memperkenalkan sebuah genre musik dan metode berkarya revolusioner yang memicu perdebatan panjang tentang hak cipta, orisinalitas, serta peran musisi dalam berkarya: plunderphonics.

Ketika plunderphonics mulai dikembangkan pada tahun 1980-an, industri musik tengah kelabakan menghadapi hip hop. Genre musik ini dicetuskan di gang-gang kumuh kota besar seperti New York, Amerika Serikat, dan menyuarakan penderitaan orang-orang yang terpinggirkan.

Kebanyakan musisi hip hop generasi pertama adalah kulit hitam yang menjadi minoritas di Amerika Serikat, dan rutin menghadapi diskriminasi, kekerasan dari polisi, dan ketimpangan sosial.

Salah satu teknik yang dikembangkan hip hop adalah sampling. Dalam teknik tersebut, seorang produser atau DJ mengambil sebagian dari rekaman musik yang sudah ada, lalu menggunakan rekaman tersebut dalam lagu baru.

Bagian drum di lagu "Funky Drummer" karya James Brown, misalnya, 'diambil' oleh berbagai musisi hip hop seperti Run-D.M.C, N.W.A, LL Cool J, hingga Beastie Boys.

Ketika hip hop masih menjadi fenomena bawah tanah pada akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an, budaya sampling tak digubris oleh industri musik.

Namun, ketika banyak artis hip hop dikontrak oleh label besar di pertengahan tahun 1980-an, sebuah pertanyaan penting mencuat: apakah sampling melanggar hak cipta?

Industri musik mulai mempermasalahkan fakta bahwa banyak produser melakukan sampling tanpa menyebut siapa pencipta asli sample tersebut, apalagi meminta izin.

Sepanjang tahun 1980-an, terjadi beberapa kasus di mana sang penyandang hak cipta menuntut pihak lain yang dianggap mengambil sample secara illegal.

Perdebatan mengenai legal tidaknya sampling ini menarik perhatian John Oswald. Baginya, fakta bahwa industri musik kelabakan menanggapi kultur sampling adalah bukti bahwa hukum-hukum hak cipta yang berlaku sudah ketinggalan zaman.

Pada tahun 1985, keresahan ini ia tuangkan dalam esai berjudul Plunderphonics, or Audio Piracy as a Compositional Prerogative. Seperti dilansir oleh THUMP, dalam esai itu ia mengkritik hukum hak cipta yang menurutnya "mencegah pengutipan dalam musik".

Teknologi seperti digital sampler yang memudahkan sampling telah hadir dan mengubah cara kita menciptakan musik, namun hukum tak mampu menanggapi perubahan ini.

"Musik [...] tidak memiliki sistim pengutipan yang sekuat 'tanda kutip' dalam sastra," tulisanya.

"Tanpa sistem pengutipan yang baik, karya yang bermaksud baik tak dapat dibedakan dengan karya plagiat dan palsu."

Melalui esai itu, Oswald memperkenalkan istilah plunderphonics, teknik bermusik yang selangkah lebih jauh dari sampling. Teknik utama dalam plunderphonics adalah microsampling.

Apabila sampling sekadar mengambil satu atau sebagian elemen dari lagu lain untuk dijadikan dasar dari lagu baru, pencipta lagu plunderphonics hanya mengambil 1-2 not, kutipan suara, dan efek suara dari lagu atau dokumen suara lain dalam lagu baru.

Walhasil, jika lagu yang diciptakan dengan teknik sampling cukup menggunakan elemen dari 4-5 lagu terpisah, lagu plunderphonics bisa menggunakan microsampling suara dari ratusan, bahkan ribuan sumber terpisah dalam satu lagu.

Lebih jauh lagi, lagu plunderphonics biasanya tidak menggunakan rekaman 'baru' apapun. Sebuah lagu plunderphonics bisa saja mengambil drum dari lagu The Doors, keyboard dari lagu Pink Floyd, dan vokal dari sebuah iklan sabun, dan mencampurnya dengan ribuan sample singkat lainnya.

Empat tahun setelah esai tersebut dirilis, kedua album plunderphonics karya Oswald ditarik dengan paksa dari peredaran karena dianggap melanggar hak cipta. Namun, upaya Oswald telah menarik perhatian.

Di Amerika Serikat, sebuah kelompok musik eksperimental bernama Negativland berulang kali memicu kontroversi karena persoalan serupa: dianggap melanggar hak cipta akibat menggunakan sample tanpa izin.

Tapi, tak seperti Oswald yang fokus mengkritik industri musik, Negativland melihat bahwa pemikiran plunderphonics dapat digunakan dalam ranah aktivisme dan politik radikal. Pada tahun 1984, mereka menemukan istilah yang menjadi inspirasi bagi aktivisme politik hingga abad 21: culture jamming.

Culture jamming adalah bentuk aktivisme yang mengkritik budaya konsumer dan media massa melalui intervensi terhadap media massa. Intervensi ini bisa dilakukan dengan memplesetkan, memparodikan, dan bermain-main dengan simbol serta peraturan yang ada dalam budaya konsumer dan media massa. Mirip dengan seniman Pop Art di tahun 1960-an, culture jamming menggunakan simbol dan taktik budaya populer untuk mengkritik budaya populer.

Pada tahun 1987, Negativland merilis album plunderphonics berjudul Escape From Noise yang, di luar dugaan, sukses di pasaran. Kelompok tersebut dituntut melakukan tur, namun sadar bahwa tur bisa membuat band independen tersebut merugi.

Alih-alih berdiam diri, mereka melihat peluang untuk melakukan culture jamming dalam skala besar.

Melalui labelnya, Negativland menyebarkan rilisan pers palsu yang menulis bahwa tur mereka terpaksa batal karena intervensi seorang "Agen Federal Dick Jordan".

Pasalnya, lagu Christianity is Stupid dari album mereka dianggap telah menyebabkan Dick Brom, seorang remaja, membunuh keluarganya.

Rilisan pers itu menyangkal keterkaitan lagu mereka dengan pembunuhan yang sungguh-sungguh terjadi tersebut, dan menyayangkan pembatalan tur mereka.

Meski rilisan pers tersebut palsu dan Agen Federal Dick Jordan adalah tokoh fiktif, banyak media besar segera memberitakan Negativland dan "lagu pembunuh" karya mereka tanpa mengecek fakta. Dengan menciptakan sensasi media, Negativland berhasil mengintervensi media massa sekaligus mengkritik media yang rutin memberitakan sesuatu tanpa mengecek kebenarannya. Teknik culture jamming pun mulai menjadi buah bibir.

Palu godam terakhir untuk kultur sampling tiba pada tahun 1992. Biz Markie, seorang rapper asal Amerika Serikat, merilis lagu Alone Again untuk album ketiganya.

Lagu tersebut mengambil sample dari Alone Again (Naturally), lagu karya Gilbert O’Sullivan. Tak ingin berpangku tangan, O’Sullivan menuntut Biz Markie atas tuduhan pelanggaran hak cipta.

Pengadilan kota New York memenangkan O’Sullivan, dan memutuskan bahwa seterusnya semua sampling harus mendapat izin dari penyandang hak cipta.

Tak lama sebelum kasus tersebut, Negativland merilis U2, EP plunderphonics yang mengobrak-abrik lagu I Still Haven’t Found What I’m Looking For, karya band rock U2.

Mereka segera dituntut oleh label yang menaungi U2, Island Records, dan dipaksa menarik album tersebut dari peredaran.

Kasus ini serupa dengan penarikan album Plunderphonics karya John Oswald bertahun-tahun sebelumnya, yang terpaksa ditarik karena 'membajak' lagu Michael Jackson.

Kasus O'Sullivan vs Markie dan ditariknya album Oswald dan Negativland seolah 'mematikan' plunderphonics.

Namun, estetika mereka, pemikiran mereka tentang hak cipta, dan kritik mereka terhadap budaya populer terus bertahan.

Pemikiran politik Negativland dikembangkan oleh para aktivis radikal yang kemudian membentuk Adbusters, sebuah publikasi asal Kanada yang rutin mengkritik konsumerisme dan budaya iklan.

Majalah tersebut mulai menggencarkan istilah culture jamming setelah kolumnis Mark Dery memperkenalkan istilah tersebut pada Kalle Lasn, pendiri Adbusters, dan rutin menulis artikel tentang taktik culture jamming.

Mereka mulai dikenal karena rajin memparodikan iklan-iklan perusahaan besar, dan menggunakan kanal serta taktik ala korporasi untuk mengkritik budaya konsumerisme dan media. Tak jauh beda dengan taktik yang diterapkan Negativland bertahun-tahun sebelumnya.

Selain Adbusters, banyak inisiatif lain menggunakan taktik culture jamming dalam gerakannya. Salah satunya adalah The Droplift Project, yang menyusupkan CD-CD berisi musik plunderphonics ke rak-rak toko CD untuk memprotes kendali toko CD terhadap distribusi musik.

Mengingat saat itu internet belum populer sebagai medium distribusi musik, protes mereka menarik banyak perhatian.

Sementara itu, musisi seperti The Avalanches, DJ Shadow dan MF Doom mulai sukses dengan musik yang 'membajak' lagu-lagu yang sudah ada, persis seperti metode plunderphonics.

Usai kisruhnya dengan Asosiasi Industri Rekaman Kanada reda, John Oswald mulai bekerjasama dengan beberapa label dan kolektif seni untuk 'membajak' karya-karya mereka menjadi lagu baru.

Albumnya yang 'hilang', Plunderphonics, dirilis ulang pada tahun 2001 oleh Seeland Records, label yang dikelola oleh Negativland.

Pada tahun 2004, Negativland bekerjasama dengan gerakan Creative Commons untuk mengembangkan Creative Commons Sampling License, lisensi alternatif untuk sampling yang digunakan oleh musisi, produser, dan label independen. Album teranyar mereka, It’s All in Your Head, dirilis pada tahun 2014.

Di era internet, banyak metode plunderphonics mungkin terdengar tak lazim. Namun, pemikiran mereka melampaui zamannya.

Dengan mempertanyakan relevansi hak cipta, plunderphonics 'meramalkan' era digital di mana metode produksi, distribusi, dan atribusi karya sudah jauh lebih bebas dan mudah.

Mereka ingin mendorong percakapan tentang hak cipta, supaya industri musik dapat beradaptasi dengan kenyataan baru tersebut.

Hingga kini, pemikiran John Oswald dan Negativland masih melampaui hukum hak cipta modern yang kaku. (Raka Ibrahim)

---

Artikel ini telah dimuat di ruang.gramedia.com dengan judul "Plunderphonics: Melawan dengan Musik 'Bajakan'" pada 11 Januari 2017.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com