Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Tengkorak": Eksperimen Film Fiksi Sains

Kompas.com - 05/02/2017, 23:52 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com -- Mungkin ini peristiwa mengejutkan. Sekelompok anak muda yang dikoordinasi dosen muda Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta membuat film panjang bergenre fiksi sains.

Mengejutkan, karena ini langkah berani di tengah film (sinetron) yang cenderung "kejar tayang" dan tanpa pengendapan, hanya demi memperoleh profit.

Fiksi sains adalah film berlatar ilmu pengetahuan, yang di Indonesia jarang menjadi lirikan produser. Bukan hanya pembuatan naskah yang membutuhkan kedalaman intelektual, melainkan orientasi pasar masih menjadi titik yang berat dalam pembuatan film nasional.

Yusron Faudi, dosen muda itu, menyatakan, film yang dia kerjakan itu berjudul Tengkorak, film berlatar belakang arkeologis.

Cerita fiktif berlatar belakang ilmu pengetahuan ini mengambil Pulau Jawa sebagai tempat kejadian peristiwa.

Cerita film itu bermula dari ditemukannya fosil tengkorak lengkap dengan tubuhnya dengan ukuran fantastis. Berukuran panjang 1.850 meter dan diperkirakan tingkat ketuaan tengkorak itu sekitar 170.000 tahun.

Tengkorak spektakuler ini ditemukan di daratan Jawa ketika terjadi gempa berkekuatan 5,7 skala Richter.

Dua dekade berikutnya pemuka agama dan ahli ilmu pengetahuan masih bingung dan berdebat setelah melakukan penelitian atas temuan tengkorak itu.

Terjadi dilema besar, membeberkan atau menyembunyikan temuan itu kepada masyarakat.

Sementara pemerintah membangun Balai Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT) yang kontroversial karena ada tekanan dari dunia luar, yang berharap merahasiakan temuan besar itu.

Di tengah problematika yang berkembang, hadir seorang gadis bernama Ani (Eka Nusa Pertiwi) yang magang kerja di BPBT terjebak situasi yang mengharuskannya mengungkap misteri itu dan memberitahukan kepada dunia bahwa tengkorak dengan segala misterinya itu benar-benar ada.

Pengungkapan itu makin menimbulkan problem besar.

Itu pula yang membuat Ani harus berurusan dengan dua tokoh misterius dengan kepentingan mereka masing-masing bernama Yos (Yusron Fuadi) dan Lt Jaka (Guh S mana).

Akhirnya, BPBT dibubarkan dan bukit tengkorak diledakkan. Peninggalan purba pun musnahlah sudah.

Yusron Fuadi selaku pembuat skenario sekaligus sutradara mengatakan, film layar lebar ini modal nekat dan ketekunan.

"Dua setengah tahun kami membuat film ini. Di samping menginginkan kematangan dalam penggarapan sinematografi dan konten film ini digarap secara swadaya yang selalu menunggu perolehan dana," ujarnya.

Untuk pembuatan film itu, Yusron harus merelakan gajinya selama satu setengah tahun.

Dukungan dari sponsor yang sekali-kali diperoleh bisa menjadi penyambung penggarapan film ini, termasuk sewa peralatan biaya film ini. Kemungkinan telah menelan biaya lebih dari Rp 1 miliar.

"Untung saja peralatan kami banyak dibantu Sekolah Vokasi UGM. Bantuan mahasiswa juga banyak menolong proses pembuatan film ini. Karena itu, boleh dibilang film ini digarap dosen dan mahasiswa Sekolah Vokasi UGM," kata Yusron.

Film itu ditargetkan menjadi film yang menyuguhkan tawaran alternatif tontonan kepada masyarakat, khususnya penikmat film Indonesia.

Selain itu, Yusron juga berharap film ini dapat menunjukkan kepada dunia bahwa negara kita Indonesia telah mampu menciptakan film fiksi sains dengan isu relevan.

Dalam pengertian itu, Yusron sengaja ingin memberi tawaran sekaligus menantang, "Beranikah dunia perfilman Indonesia menciptakan film yang berpijak pada fiksi sains," katanya.

Mencipta karya film semacam ini memang bukanlah persoalan gampang. Sumber daya orang film dengan kedalaman intelektualnya merupakan tantangan sendiri.

Ketergantungan orang- orang film pada dana juga merupakan pergulatan tersendiri dalam penciptaan film-film alternatif. Pada akhirnya adalah bagaimana membangun idealisme orang-orang film.

Menikmati
Realitasnya, sebagian penduduk Indonesia menikmati film dengan genre fiksi sains meskipun negara kita tidak banyak memproduksi film ini.

Ketika masyarakat beranggapan fiksi sains hanya seputar alien, laser, atau robot, ada beberapa karya terbaik bergenre fiksi sains yang mengangkat tema mengenai kemanusiaan atau tabiat manusia ketika menghadapi teknologi.

Film Star Wars, misalnya, tidak melulu membuat cerita tentang robot, alien, dan angkasa, tetapi juga mengenai kehidupan seorang samurai.

Begitu juga dengan film Districs 9 yang membahas sistem pemisah atau diskriminasi atas dasar ras.

Akhirnya, hanya persoalan keberanian, bagaimana edukasi sains itu mampu tertransformasikan dalam jagat film nasional.

Ini terpulang pada kemampuan kalangan film Indonesia bagaimana membangun intelektualitasnya menyerap segala ilmu pengetahuan, di balik pengetahuannya tentang sinematografi.

Persoalan lain bagaimana penyandang dana yang selama ini mendanai produksi film-film nasional kita sadar untuk memperhatikan produksi bergenre fiksi sains.

Film berbasis fiksi sains bukanlah karya di awang, yang dianggap tidak punya pasar, dalam kancah perfilman kita.

Persoalannya hanya terletak pada idealisme, sejauh mana kita akan membawa wajah film nasional kita.

Atau dalam ungkapan lain, haruskah film-film alternatif, seperti fiksi sains, digarap oleh orang-orang "pinggiran" yang tertatih-tatih membangun kerinduannya.

Eddie Cahyadi, pengajar film dan sutradara film Siti yang memenangi Festival Film Indonesia, menyatakan, kekuatan fiksi sains dalam film perlu mendasarkan imajinasi sains.

Bisa tentang luar angkasa, perjalanan menembus waktu, robotik, dan lain-lain. Untuk membangun imajinasi seperti itu dibutuhkan daya nalar dan daya pikir yang kuat.

Apakah karena itu, kata Eddie, jumlah film fiksi sains di Indonesia tidak banyak.

"Ya kita dulu pernah menyaksikan film Warkop DKI judulnya Manusia 1 Juta Dolar. Itu fiksi sains yang dibalut komedi," katanya.

Tanpa meragukan kemampuan ilmu pengetahuan kalangan perfilman nasional, Eddie menyatakan beratnya pembuatan film itu bagaimana membangun sebuah imajinasi atau fiksi yang tetap mengacu dari teori sains.

Film Tengkorak barangkali sebuah keberanian eksperimen yang berangkat dari pemikiran akademisi yang mencoba ingin keluar dari film mainstream, yang sampai sekarang belum banyak dilakukan orang film sendiri. (TJOMAS PUDJO WIDIJANTO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Februari 2017, di halaman 24 dengan judul "Eksperimen Film Fiksi Sains".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com