JAKARTA, KOMPAS.com -- Seorang polisi detektif dan seorang fotografer forensik harus memecahkan misteri pembunuhan berantai.
Penyelidikan membawa mereka pada perdagangan gelap barang antik yang diliputi praktik supranatural.
Film ini tidak hanya bercerita tentang kasus kriminal, tetapi juga nasib orang-orang yang sebenarnya ada, tetapi tertutupi keberadaannya oleh modernitas zaman.
Adam (Iedil Putra) merasa jenuh dengan hidupnya. Kehidupannya sebagai fotografer forensik yang mengharuskannya kerap menghadapi mayat, darah, dan kengerian lain membuatnya hampir putus asa.
Hari-harinya dihantui bayangan buruk tentang korban-korban pembunuhan yang pernah dilihatnya.
Adam menghibur diri dengan memotret kegiatan para penghuni di seberang apartemennya.
Ketika sosok perempuan cantik tertangkap bidikan lensanya, Man (Shaheizy Sam) datang meminta bantuan.
Polisi detektif rekan lama Adam ini membawa cerita pembunuhan baru dengan modus serupa dengan beberapa pembunuhan sebelumnya. Mereka dihadapkan dengan serial pembunuhan yang pelik.
Korban selalu berada di atas ayunan sulur tetumbuhan. Pembuluh darahnya terburai dengan darah seperti terisap habis. Di bawah mayat selalu ditemukan bulu-bulu binatang dan pecahan kaca negatif film.
Sutradara Dain Iskandar Said tidak membiarkan penonton dengan mudah menebak akhir cerita.
Ketika penonton merasa hampir mengetahui jalan cerita, sutradara asal Malaysia ini menyajikan lapis misteri berikutnya.
Ceritanya dibangun sedikit demi sedikit, paralel dengan konstruksi setiap karakter.
Adam dan Man kemudian harus berurusan dengan dua orang misterius, Iva (Prisia Nasution) dan Belian (Nicholas Saputra).
Iva adalah perempuan cantik yang dilihat Adam lewat bidikan lensanya. Sosoknya terkesan rapuh dan butuh perlindungan, sekaligus menyimpan kekuatan tersembunyi yang menjerat hati Adam.
Sementara Belian dengan jari-jari kelingking yang melebar selalu bersembunyi di balik tudung jaketnya.
Film detektif kriminal ini kemudian berkembang menjadi kisah fantasi yang berakar pada ramuan legenda, cerita rakyat, dan aroma supranatural yang menyertai.
Iva ternyata adalah dayong atau dukun yang terjebak selama 100 tahun di dalam tubuh fisiknya. Sementara Belian adalah burung yang menjelma manusia.
Selain untuk memberikan ciri keunikan, sutradara juga ingin mengangkat kembali hal-hal, yang menurutnya, selama ini dilupakan orang modern.
"Saya ingin membuat film detektif, tetapi yang diberi konteks tropical. Kalau kita tidak kasih unsur kultural, film kita akan menjadi biasa. Bisa terjadi di mana saja," kata Dain.
Cerita tentang suku asli dan ritualnya banyak ditemukan dalam kisah-kisah Nusantara yang dipahami oleh orang-orang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Namun, seiring waktu, kisah-kisah itu memudar. Padahal, pelaku-pelakunya masih eksis, tetapi jauh dari kehidupan modern yang berlangsung.
"Suku-suku asli ini masih ada, tetapi kita tidak peduli. Seolah-olah mereka tidak penting. Mereka ini seperti orang-orang yang tersingkirkan," kata Dain.
Sebuah foto karya antropolog asal Norwegia, Carl Lumholtz yang mengunjungi pedalaman Kalimantan pada 1913-1917, mendasari ide besar cerita film ini.
Foto itu merekam aktivitas para perempuan yang tengah melakukan ritual mandi tolak bala di sungai.
Meskipun menyebut tentang suku asli di Kalimantan dan praktik masyarakatnya, pengemasannya digarap menjadi fiksi.
Film ini ingin mengingatkan bahwa di tengah zaman modern sekarang ini masih ada suku-suku asli yang hidup dengan kearifan menjaga alam.
"Kami tak mungkin menyebut nama asli suku ini, khawatir ada yang tersinggung. Film ini butuh tiga tahun, dari riset, pengembangan, hingga proses akhir produksi," kata Fauzan Zidni, produser dari Cinesurya Pictures.
Dain cukup piawai menggarap film yang sedikit gelap ini terasa realis. Ia berbekal naskah yang digarap beberapa penulis. Masing-masing diberi porsi sesuai spesialisasi masing-masing.
Film ini merupakan hasil kerja sama perusahaan produksi film asal Malaysia, Apparat, dan Cinesurya Pictures dari Indonesia, kolaborasi yang ingin dihidupkan kembali untuk mengulang kebiasaan kerja sama pada tahun 1950-an.
Aktor dan aktris pendukung juga diambilkan dari kedua negara. Film ini membuktikan, cerita lokal Asia Tenggara yang digarap apik bisa menjadi kekuatan yang magnetik.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Februari 2017, di halaman 26 dengan judul ""Interchange", Misteri Berlapis".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.